Baiklah, pada kesempatan kali
ini, kita akan membahas sebuah problema yang dialami oleh kaum perempuan sejak
berjuta abad yang lalu. Tapi sebelumnya, bincang-bincang soal perempuan,
rasanya penting untuk membahas sejenak bagaimana peradaban di masa pra islam
memandang dan menyikapi kaum perempuan. Apakah benar di masa jahiliyah tersebut
perempuandiperlakukan secara tertindas? Lantas, apakah benar hanya islam yang
mampu memuliakan dan memanusiakan kaum perempuan? Baiklah, mari kita tengok
sejenak beberapa prespektif peradaban di masa pra islam terhadap kaum perempuan.
Peradaban
Yunani Romawi
Pada masa jahiliyah, perempuan
dipandang tidak lebih dari alat pemuas nafsu kaum lelaki belaka yang
diperjualbelikan, sebagaimana hewan ternak pada umumnya. Di Roma,perempuan sama
sekali tidak memiliki hak untuk memiliki, menjual, membeli serta membuat
perjanjian bisnis. Bahkan mas kawin sang istri pun otomatis menjadi milik sang
suami. Jadi, perempuan diposisikan sabagai ‘unsur’ yang secara alamiah
diperintah oleh kaum lelaki. Kaum lelaki berhak menghakimi istrinya sendiri
apabila sang istri memang benar-benar bersalah, ataupun apabila sang istri
tidak benar-benar bersalah. Perempuan yang pada faktanya diposisikan pada kasta
ketiga (kasta terendah) layak dibunuh ataupun dihamili oleh masyarakat Sparta
(kasta tertinggi).
Selain itu, di Roma, sebuah
kelahiran merupakan suatu perkara yang mendebarkan. Apabila anak yang lahir
merupakan anak perempuan, maka sang suami mutlak memiliki kekuasaan atasnya,
apakah ia akan menghidupinya, membunuhnya ataupun menjualnya sebagai seorang
budak. Apabila anak tersebut terlahir dalam keadaan cacat, maka sang ibu layak
untuk dibunuh.
Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa peradaban Yunani memandang perempuan sebagai makhluk yang tidak berarti.
Dan sebagai pelengkap, kaum perempuan dipandang sebagau makhluk yang tidak akan
dikasihi oleh para dewa.
Peradaban
Yahudi Klasik
Dalam adat masyarakat Yahudi
klasik, kaum lelaki banyak sekali mendapatkan perlakuan yang istimewa, yang
tidak dijumpai di tengah-tengah kalangan perempuan. Sebagai contoh, terdapat
upacara Kiddush (sebuah acara makan bersama setelah upacara Sabbath) bagi bayi laki-laki
yang baru saja lahir, namun tidak bagi bayi perempuan. Selain itu, terdapat
sebuah ritual bertajuk her mitzuah ketika seorang laki-laki memasuki
masa pubertas, namun tidak berlaku bagi perempuan. Dan masih banyak lagi contoh
lainnya, seperti halnya penentuan suatu kuorum (minyan) yang diikuti oleh kaum
laki-laki, tapi tidak oleh kaum perempuan.
Sedangkan ajaran mereka
sendiri tidak jauh berbeda dari adat istiadatnya. Dalam kitab suci Talmud -yang
berisi aturan peribadatan masyarakat dan kehidupan pribadi- dikatakan bahwa “.....Namun
berbahagialah mereka yang memiliki anak laki-laki dan celakalah mereka yang
memiliki anak perempuan.”
Selain itu, di bidang
pendidikan, perempuan pun tidak mendapatkan perlakuan yang adil. Perempuan
dianggap tidak layak untuk memiliki pegetahuan selain ilmu pengetahuan seputar
kewajiban-kewajiban yang khusus ditetapkan bagi kaum perempuan menurut kitab
suci Yahudi. Dalam skala keluarga, perempuan tidak memiliki hak untuk meminta
cerai dan dilarang menikah kembali walaupun telah ditinggal oleh suaminya.
Hinduisme
Dalam agama hindu, kewajiban
tertinggi seorang perempuan ialah kewajiban-kewajibannya terhadap sang suami.
Kaum perempuan dianggap sebagai pativrata, yang maknanya ialah sumpah perempuan
(vista) hanya dialamatkan kepada suaminya (pati). Dalam hindu, perempuan yang
baik ialah perempuan yang memperlakukan suaminya sebagaimana seorang dewa,
karena mereka mempercayai bahwa suami merupakan inkarnasi dari hokum tertinggi,
ketetapan dan sekumpulan kewajiban bagi istrinya.Yang lebih mengerikan ialah perempuan
yang baik ialah ia yang meninggal sebelum suaminya meninggal. Apabila suaminya
meninggal terlebih dahulu, maka perempuan yang baik ialah ia yang akan menyusul
kepergian suaminya melalui ritual satee.
Bangsa
Arab Masa Pra Islam
Bangsa Arab memperlakukan perempuan
dengan perlakuan yang hina. Anak perempuan layak untuk dikubur hidup-hidup.
Kaum lelaki layak untuk memiliki istri sebanyak mungkin dan mereka
memperlakukan istri-istri mereka sebagaimana seorang budak. Selain itu, apabila
seorang lelaki meninggal, maka istrinya bukan malah mendapatkan jatah waris,
namun menjadi objek yang diwariskan, yang biasanya dinikahi oleh anaknya sendiri.
Selain itu, seorang istri
harus bersumpah bahwa ia akan patuh kepada suaminya, sampai kapan pun dan
bagaimana pun keadaannya. Selain itu, sang istri sama sekali tidak memiliki hak
untuk berpendapat. Maka tidak heran apabila sang suami berhak meminjamkan
istrinya kepada orang lain untuk mendapatkan bayaran tertentu. Dan yang lebih
mengerikan lagi, apabila seorang istri tidak mampu menghasilkan keturunan, maka
ia akan ditinggalkan atau bakhan dihukum mati.
Bangsa
Inggris
Sebagaimana bangsa lainnya, perempuan
di Ingggris juga bisa dikatakan tertindas. Dikala seorang perempuan tersebut menikah,
maka hukum mengatakan bahwa ia harus kehilangan hak-hak sipil yang ia miliki
ketika masih bujangan. Ia tidak boleh memiliki dan membuat perjanjian bisnis.
Harta dan dirinya secara mutlak dimiiki oleh suaminya, sedangkan suaminya
sendiri tidak bertanggungjawab atas istrinya. Sedangkan kondisi perempuan pada
belahan bumi Eropa lainnya tidak jauh berbeda dari apa yang terjadi di Inggris.
Demikianlah pandangan terhadap
kaum perempuan menurut beberapa peradaban dan beberapa bangsa pada masa pra
islam.Perempuan tertindas, terlecehkan dan lain semacamnya menjadi sesuatu yang
lumrah terjadi. Bahkan saking kejamnya, masih banyak kalangan yang memperdebatkan
keberadaan seorang perempuan, apakah ia juga termasuk sosok manusia, ataukah
bukan.
Oleh karenanya, dari semua
fakta miris tersebut, tidak ayal lagi apabila banyak oknum-oknum di antara
kalangan perempuan yang merasa tertindas dan terlecehkan, dan menuntut
perempuan untuk dimuliakan. Ya, mungkin secara bahasa bebas merekalah
oknum-oknum yang menyerukan, “Muliakanlah Aku...! Muliakanlah Kami…!
Muliakanlah Perempuan…!”. Dan usut punya usut, mulai dari mereka, munculah
sebuah gerakan feminis yang berlandaskan pemahaman feminisme. Seperti apakah
kancah pemikiran feminisme?
Baiklah, kini saatnya kita
memasuki kancah arena feminisme. Namun perlu diketahui bahwa dunia feminisme
sangatlah beragam dan memiliki banyak aliran. Dan masing-masing aliran tersebut
memiliki presepsi dan titik perhatian yang berbeda-beda. Dari banyaknya aliran
tersebut, terdapat tiga aliran besar kelompok feminis.
Yang pertama ialah aliran
feiminis marxis. Dalam alam pemikiran feminisme marxis, tinggi atau rendahnya
derajat seseorang hanyalah dipandang memalui produktifitasnya belaka; sebesar
apa seseorang mampu memperoleh finansial yang bersifat materi. Hal ini tentu
otomatis membuat kalangan perempuan harus ikut serta mencari nafkah, di samping
ia juga harus mengurusi urusan rumah tangga. Maka artinya, menurut feminisme
marxis, untuk mendapatkan kesetaraan, wanita harus memegang peran ganda
sekaligus, yakni peran sebagai pencari nafkah dan peran sebagai manager rumah
tangga.
Yang kedua ialah feminisme radikal.
Aliran feminism ini lebih mengarah kepada penghapusan gender di bidang politik,
yang mana akhirnya lebih cenderung mendorong kebebasan seksual kaum perempuan.
Mereka menentang hubungan antara laki-laki dan perempuan, dan memperjuangkan
lesbianisme. Hal ini dikarenakan menurut mereka, lesbianisme menyimbolkan bahwa
perempuan bukanlah alat pemuas nafsu kaum laki-laki dan tanpa laki-laki pun
kaum perempuan telah mampu menyalurkan hasrat seksualnya.
Yang ketiga ialah feminisme
liberal. Aliran ini lebih cenderung mendukung manusia untuk menjadi individu
yang androgini, atau dalam kata lain menjadi individu yang sempurna; memiliki
banyak keterampilan, banyak sifat, beragam pembawaan dan segala hal lainnya
yang selama ini cenderung dibedakan melalui jenis kelamin. Mereka menyerukan
penghapusan jenis kelamin dari segala aspek, yang –menurut mereka- manjadi
biang permasalahan sejak dulu.
Ya, itulah tadi beberapa
aliran pemikiran feminisme. Dan dari pemaparan tadi, bisa kita simpulkan bahwa
feminisme –yang awalnya menyerukkan kemuliaan dan ketinggian derajat seorang
perempuan- itu meyerukan kesetaraan di antara kaum perempuan dan kaum
laki-laki, hamper di segala aspek. Namun tentunya kita sebagai seorang muslim
dan muslimah tidak boleh hanya sekedar menerima dengan lapang dada tanpa
mengkiritisi terlebih dahulu, apalagi melihat bahwa feminisme sendiri berasal
dari dunia barat.
Yang bisa kita kritisi di
sini ialah, secara fitrah, kaum perempuan dan laki-laki memang memiliki
perbedaan, baik itu secara biologis, maupun sifat alamiah. Dari fakta inilah,
kaum perempuan dan laki-laki tidak bisa disamaratakan dalam segala bidang
aspek. Dan pada faktanya, apakah sesuatu yang ‘sama’ selamanya mutlak
diindikasikan sebagai sesuatu yang ‘adil’? apakah sesuatu yang ‘sama’ selamanya mutlak diindikasikan
memuliakan kedua belah pihak atau salah satu di antaranya? Tentu tidak.
Meyamaratakan sesuatu yang sebenarnya tidak sama tidak akan membuahkan keadilan
dan kemuliaan. Oleh karenanya, dalam hal yang memang terdapat perbedaan di
antara perempuan dan laki-laki, juga harus terdapat ‘perbedaan’ perlakuan. Dan
‘perbedaan’ ini merupakan sunnatullah (hukum alam). Dan perlu digarisbawahi
bahwa ‘perbedaan’ tersebut tidak selamanya merendahkan salah satu pihak.
T.i.d.a.k.
Baiklah, sebelum memasuki
pembahasan berikutnya, rasanya penting untuk melihat secara cermat bagaimana
keadaan perempuan di era kini atau ’era modern’. Feminisme yang pasalnya
berasal dari dunia Barat tentu akan relevan apabila dikaitkan dengan fakta era
kini yang notabenenya berkiblat pada kehidupan peradaban Barat. Apakah benar
feminisme mampu membuahkan kemaslahatan bagi kaum perempuan? Apakah benar
dengan meyetarakan segala hal yang ada di antara area perempuan dan laki-laki
akan membuahkan kemaslahatan khususnya bagi perempuan? Mari kita simak fakta
kondisi perempuan di era kini.
Secara de djure, perempuan di
era kini memang tidak begitu tampak tertindas. Namun apabila ditelusuri lebih
lanjut, secara de facto, perempuan di era modern ini pun juga mengalami
penindasan, yang bahkan seringkali tidak disadari oleh pihak perempuan itu
sendiri. Pelecehan serta ketertindasan yang dialami tidak jauh berbeda dari apa
yang terjadi di masa pra islam. Fenomena single parent, abosri, prostitusi,
pornografi, pemerkosaan dan fenomena-fenomena lainnya bertebaran dimana-mana.
Di era modern memang tidak ada lagi anak perempuan yang dibunuh, akan tetapi
beribu bayi di dalam Rahim dikeluarkan secara paksa. Di era modern ini memang
tidak ada lagi perempuan yang disewakan kepada lelaki lain, akan tetapi kini
bertebaran perempuan yang siap menjual dirinya sendiri di ranah prostitusi. Di
era kini memang tidak ada lagi perempuan yang berada di bawah kekang lelaki
secara mutlak, namun banyak perempuan yang harus memerankan dua peran penting
sekaligus dalam sebuah keluarga. Demikianlah fakta singkat perempuan di era
modern kini, di mana faham feminisme telah berkembang di tengah sendi-sendi
kehidupan masyarakat. Di mana kehidupan baik itu di kalangan muslim maupun non
muslim telah berkiblat kepada barat. Kehidupan yang semakin tidak memanusiakan perempuan.
“Muliakanlah Aku...!
Muliakanlah Kami…! Muliakanlah Perempuan…!”. Lantas, dengan apa perempuan dapat
ditinggikan derajatnya? Dengan apa perempuan dapat mendapatkan kemuliaan? Siapa
yang mampu memanusiakan perempuan?
Jawabannya tidak lain dan
tidak bukan ialah Islam. Sebuah agama yang juga sekaligus sebagai sebuah
ideologi yang mana memiliki aturan yang sempurna. Islam yang sempurna yang mana
aturannya meliputi seluruh aspek kehidupan, mulai dari hal yang paling dasar
seperti aqidah, hingga hal-hal lainnya seperti ibadah, mu’amalat, uqubat
(sanksi), siyasah (politik), math’umat (makanan), malbusat (pakaian) dan masih
banyak lagi. Islam yang seluruh hukumnya berasal dari Dzat Yang Maha
Menciptakan alam semesta dan seisinya, Dzat yang Maha Mengetahui segala hal
yang tidak diketahui oleh makhluk-Nya; yakni Allah.
Hanya islam lah yang mampu
memuliakan perempuan, meninggikan derajat perempuan dan memanusiakan perempuan.
Dalam hal spiritual, perempuan dan laki-laki sama sekali tidak dipandang
berbeda, bahkan oleh Sang Khaliq sekalipun. Tinggi atau rendahnya derajat
seseorang, baik atau buruknya seseorang tidak dibedakan melalui jenis kelamin,
apakah ia perempuan ataukah laki-laki, melainkan melalui ketaqwaannya.
Bagaimana kadar ketaqwaan seseorang kepada Rabbnya, itulah ukuran tinggi atau
rendahnya seseorang di mata Sang Khaliq; baik itu perempuan maupun laki-laki.
Hal tersebut Allah firmankan
dalam Q.S al-Ahzab [33]: 35, Q.S Ali Imran [3]: 195, Q.S. an-Nahl [16]: 97, dan
masih banyak lagi nash yang mengatakan hal serupa.
¨bÎ)úüÏJÎ=ó¡ßJø9$#ÏM»yJÎ=ó¡ßJø9$#urúüÏZÏB÷sßJø9$#urÏM»oYÏB÷sßJø9$#urtûüÏGÏZ»s)ø9$#urÏM»tFÏZ»s)ø9$#urtûüÏ%Ï»¢Á9$#urÏM»s%Ï»¢Á9$#urtûïÎÉ9»¢Á9$#urÏNºuÉ9»¢Á9$#urtûüÏèϱ»yø9$#urÏM»yèϱ»yø9$#urtûüÏ%Ïd|ÁtFßJø9$#urÏM»s%Ïd|ÁtFßJø9$#urtûüÏJÍ´¯»¢Á9$#urÏM»yJÍ´¯»¢Á9$#urúüÏàÏÿ»ptø:$#uröNßgy_rãèùÏM»sàÏÿ»ysø9$#urúïÌÅ2º©%!$#ur©!$##ZÏVx.ÏNºtÅ2º©%!$#ur£tãr&ª!$#Mçlm;ZotÏÿøó¨B#·ô_r&ur$VJÏàtãÇÌÎÈ
35. Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki
dan perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Islam pun tidak menghilangkan
hak wanita secara mutlak untuk berperan di ranah publik. Islam juga tidak
merampas hak-hak istimewa kaum wanita. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga
diwajibkan menuntut ilmu. Dan sebagaimana laki-laki, perempuan juga diwajibkan
berdakwah, menyeru kema’rufan dan mencegah kemungkaran. Pendapat serta aspirasi
kaum perempuan akan diterima layaknya aspirasi kaum laki-laki. Perempuan juga
layak menerima waris sebagaimana laki-laki, bukan menjadi komoditas yang
diwariskan. Perempuan juga tetap diperbolehkan bekerja, walupun tidak sampai
diharuskan. Perempuan juga tetap diperbolehkan ikut serta dalam berjihad,
walaupun tidak sampai diharuskan sebagaimana laki-laki.
Dan disamping kebolehan-kebolehan
tersebut, perempuan memiliki beberapa tugas mulia, yang hanya diperuntukan bagi
kaum perempuan semata. Tugas tersebut tidak lain dan tidak bukan ialah tugas
sebagai Umm wa Rabbatul Bait (Ibu dan Manager Rumah Tangga). Dimana
perempuan harus mengandung selama 9 bulan, menyapih selama 2 tahun, menjadi
guru pertama bagi para anak, melayani dan memenuhi kebutuhan anak dan suami,
dan lain sebagainya. Islam memposisikan perempuan sebagai peran penting
pencetak generasi. Karena notabenenya, apabila kualitas perempuan pada suatu
kaum atau bangsa buruk, otomatis kualitas generasinya pun akan buruk.
Dan semua hal itu sama sekali
tidak mengindikasikan bahwa perempuan memiliki kewajiban yang lebih besar dan
lebih banyak dibandingkan dengan kaum laki-laki, sehingga disimpulkan bahwa
Islam menindas wanita. B-u-k-a-n. Dengan kedudukan tersebut, wanita menjadi
mulia dan mendapatkan posisinya sebagaimana fitrahnya sebagai seorang wanita,
bukan malah tertindas dan terjajah.Sekali lagi, Allah memperuntukan hal tersebut
semata-mata untuk meninggikan derajat kaum perempuan. Dan Allah telah
menjanjikan balasan yang tiada tara atas semua itu. Balasan yang tidak kalah
hebat dari balasan seorang laki-laki yang mati syahid di medan perang. Bukan
hanya sekedar balasan di kehidupan duniawi, tapi juga untuk bekal di alam yang
kekal nanti.
Dan Islam telah memuliakan
wanita sejak 14 abad yang lalu.
Jadi, bukankah sudah jelas,
siapa yang mampu memuliakan wanita?