Selasa, 07 April 2015

“Muliakanlah Aku...! Muliakanlah Kami…! Muliakanlah Perempuan…!”






Baiklah, pada kesempatan kali ini, kita akan membahas sebuah problema yang dialami oleh kaum perempuan sejak berjuta abad yang lalu. Tapi sebelumnya, bincang-bincang soal perempuan, rasanya penting untuk membahas sejenak bagaimana peradaban di masa pra islam memandang dan menyikapi kaum perempuan. Apakah benar di masa jahiliyah tersebut perempuandiperlakukan secara tertindas? Lantas, apakah benar hanya islam yang mampu memuliakan dan memanusiakan kaum perempuan? Baiklah, mari kita tengok sejenak beberapa prespektif peradaban di masa pra islam terhadap kaum perempuan.
Peradaban Yunani Romawi
Pada masa jahiliyah, perempuan dipandang tidak lebih dari alat pemuas nafsu kaum lelaki belaka yang diperjualbelikan, sebagaimana hewan ternak pada umumnya. Di Roma,perempuan sama sekali tidak memiliki hak untuk memiliki, menjual, membeli serta membuat perjanjian bisnis. Bahkan mas kawin sang istri pun otomatis menjadi milik sang suami. Jadi, perempuan diposisikan sabagai ‘unsur’ yang secara alamiah diperintah oleh kaum lelaki. Kaum lelaki berhak menghakimi istrinya sendiri apabila sang istri memang benar-benar bersalah, ataupun apabila sang istri tidak benar-benar bersalah. Perempuan yang pada faktanya diposisikan pada kasta ketiga (kasta terendah) layak dibunuh ataupun dihamili oleh masyarakat Sparta (kasta tertinggi).
Selain itu, di Roma, sebuah kelahiran merupakan suatu perkara yang mendebarkan. Apabila anak yang lahir merupakan anak perempuan, maka sang suami mutlak memiliki kekuasaan atasnya, apakah ia akan menghidupinya, membunuhnya ataupun menjualnya sebagai seorang budak. Apabila anak tersebut terlahir dalam keadaan cacat, maka sang ibu layak untuk dibunuh.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa peradaban Yunani memandang perempuan sebagai makhluk yang tidak berarti. Dan sebagai pelengkap, kaum perempuan dipandang sebagau makhluk yang tidak akan dikasihi oleh para dewa.
Peradaban Yahudi Klasik
Dalam adat masyarakat Yahudi klasik, kaum lelaki banyak sekali mendapatkan perlakuan yang istimewa, yang tidak dijumpai di tengah-tengah kalangan perempuan. Sebagai contoh, terdapat upacara Kiddush (sebuah acara makan bersama setelah upacara Sabbath) bagi bayi laki-laki yang baru saja lahir, namun tidak bagi bayi perempuan. Selain itu, terdapat sebuah ritual bertajuk her mitzuah ketika seorang laki-laki memasuki masa pubertas, namun tidak berlaku bagi perempuan. Dan masih banyak lagi contoh lainnya, seperti halnya penentuan suatu kuorum (minyan) yang diikuti oleh kaum laki-laki, tapi tidak oleh kaum perempuan.
Sedangkan ajaran mereka sendiri tidak jauh berbeda dari adat istiadatnya. Dalam kitab suci Talmud -yang berisi aturan peribadatan masyarakat dan kehidupan pribadi- dikatakan bahwa “.....Namun berbahagialah mereka yang memiliki anak laki-laki dan celakalah mereka yang memiliki anak perempuan.”
Selain itu, di bidang pendidikan, perempuan pun tidak mendapatkan perlakuan yang adil. Perempuan dianggap tidak layak untuk memiliki pegetahuan selain ilmu pengetahuan seputar kewajiban-kewajiban yang khusus ditetapkan bagi kaum perempuan menurut kitab suci Yahudi. Dalam skala keluarga, perempuan tidak memiliki hak untuk meminta cerai dan dilarang menikah kembali walaupun telah ditinggal oleh suaminya.
Hinduisme
Dalam agama hindu, kewajiban tertinggi seorang perempuan ialah kewajiban-kewajibannya terhadap sang suami. Kaum perempuan dianggap sebagai pativrata, yang maknanya ialah sumpah perempuan (vista) hanya dialamatkan kepada suaminya (pati). Dalam hindu, perempuan yang baik ialah perempuan yang memperlakukan suaminya sebagaimana seorang dewa, karena mereka mempercayai bahwa suami merupakan inkarnasi dari hokum tertinggi, ketetapan dan sekumpulan kewajiban bagi istrinya.Yang lebih mengerikan ialah perempuan yang baik ialah ia yang meninggal sebelum suaminya meninggal. Apabila suaminya meninggal terlebih dahulu, maka perempuan yang baik ialah ia yang akan menyusul kepergian suaminya melalui ritual satee.
Bangsa Arab Masa Pra Islam
Bangsa Arab memperlakukan perempuan dengan perlakuan yang hina. Anak perempuan layak untuk dikubur hidup-hidup. Kaum lelaki layak untuk memiliki istri sebanyak mungkin dan mereka memperlakukan istri-istri mereka sebagaimana seorang budak. Selain itu, apabila seorang lelaki meninggal, maka istrinya bukan malah mendapatkan jatah waris, namun menjadi objek yang diwariskan, yang biasanya dinikahi oleh anaknya sendiri.
Selain itu, seorang istri harus bersumpah bahwa ia akan patuh kepada suaminya, sampai kapan pun dan bagaimana pun keadaannya. Selain itu, sang istri sama sekali tidak memiliki hak untuk berpendapat. Maka tidak heran apabila sang suami berhak meminjamkan istrinya kepada orang lain untuk mendapatkan bayaran tertentu. Dan yang lebih mengerikan lagi, apabila seorang istri tidak mampu menghasilkan keturunan, maka ia akan ditinggalkan atau bakhan dihukum mati.
Bangsa Inggris
Sebagaimana bangsa lainnya, perempuan di Ingggris juga bisa dikatakan tertindas. Dikala seorang perempuan tersebut menikah, maka hukum mengatakan bahwa ia harus kehilangan hak-hak sipil yang ia miliki ketika masih bujangan. Ia tidak boleh memiliki dan membuat perjanjian bisnis. Harta dan dirinya secara mutlak dimiiki oleh suaminya, sedangkan suaminya sendiri tidak bertanggungjawab atas istrinya. Sedangkan kondisi perempuan pada belahan bumi Eropa lainnya tidak jauh berbeda dari apa yang terjadi di Inggris.
######
Demikianlah pandangan terhadap kaum perempuan menurut beberapa peradaban dan beberapa bangsa pada masa pra islam.Perempuan tertindas, terlecehkan dan lain semacamnya menjadi sesuatu yang lumrah terjadi. Bahkan saking kejamnya, masih banyak kalangan yang memperdebatkan keberadaan seorang perempuan, apakah ia juga termasuk sosok manusia, ataukah bukan.
Oleh karenanya, dari semua fakta miris tersebut, tidak ayal lagi apabila banyak oknum-oknum di antara kalangan perempuan yang merasa tertindas dan terlecehkan, dan menuntut perempuan untuk dimuliakan. Ya, mungkin secara bahasa bebas merekalah oknum-oknum yang menyerukan, “Muliakanlah Aku...! Muliakanlah Kami…! Muliakanlah Perempuan…!”. Dan usut punya usut, mulai dari mereka, munculah sebuah gerakan feminis yang berlandaskan pemahaman feminisme. Seperti apakah kancah pemikiran feminisme?
Baiklah, kini saatnya kita memasuki kancah arena feminisme. Namun perlu diketahui bahwa dunia feminisme sangatlah beragam dan memiliki banyak aliran. Dan masing-masing aliran tersebut memiliki presepsi dan titik perhatian yang berbeda-beda. Dari banyaknya aliran tersebut, terdapat tiga aliran besar kelompok feminis.
Yang pertama ialah aliran feiminis marxis. Dalam alam pemikiran feminisme marxis, tinggi atau rendahnya derajat seseorang hanyalah dipandang memalui produktifitasnya belaka; sebesar apa seseorang mampu memperoleh finansial yang bersifat materi. Hal ini tentu otomatis membuat kalangan perempuan harus ikut serta mencari nafkah, di samping ia juga harus mengurusi urusan rumah tangga. Maka artinya, menurut feminisme marxis, untuk mendapatkan kesetaraan, wanita harus memegang peran ganda sekaligus, yakni peran sebagai pencari nafkah dan peran sebagai manager rumah tangga.
Yang kedua ialah feminisme radikal. Aliran feminism ini lebih mengarah kepada penghapusan gender di bidang politik, yang mana akhirnya lebih cenderung mendorong kebebasan seksual kaum perempuan. Mereka menentang hubungan antara laki-laki dan perempuan, dan memperjuangkan lesbianisme. Hal ini dikarenakan menurut mereka, lesbianisme menyimbolkan bahwa perempuan bukanlah alat pemuas nafsu kaum laki-laki dan tanpa laki-laki pun kaum perempuan telah mampu menyalurkan hasrat seksualnya.
Yang ketiga ialah feminisme liberal. Aliran ini lebih cenderung mendukung manusia untuk menjadi individu yang androgini, atau dalam kata lain menjadi individu yang sempurna; memiliki banyak keterampilan, banyak sifat, beragam pembawaan dan segala hal lainnya yang selama ini cenderung dibedakan melalui jenis kelamin. Mereka menyerukan penghapusan jenis kelamin dari segala aspek, yang –menurut mereka- manjadi biang permasalahan sejak dulu.
Ya, itulah tadi beberapa aliran pemikiran feminisme. Dan dari pemaparan tadi, bisa kita simpulkan bahwa feminisme –yang awalnya menyerukkan kemuliaan dan ketinggian derajat seorang perempuan- itu meyerukan kesetaraan di antara kaum perempuan dan kaum laki-laki, hamper di segala aspek. Namun tentunya kita sebagai seorang muslim dan muslimah tidak boleh hanya sekedar menerima dengan lapang dada tanpa mengkiritisi terlebih dahulu, apalagi melihat bahwa feminisme sendiri berasal dari dunia barat.
Yang bisa kita kritisi di sini ialah, secara fitrah, kaum perempuan dan laki-laki memang memiliki perbedaan, baik itu secara biologis, maupun sifat alamiah. Dari fakta inilah, kaum perempuan dan laki-laki tidak bisa disamaratakan dalam segala bidang aspek. Dan pada faktanya, apakah sesuatu yang ‘sama’ selamanya mutlak diindikasikan sebagai sesuatu yang ‘adil’? apakah sesuatu yang  ‘sama’ selamanya mutlak diindikasikan memuliakan kedua belah pihak atau salah satu di antaranya? Tentu tidak. Meyamaratakan sesuatu yang sebenarnya tidak sama tidak akan membuahkan keadilan dan kemuliaan. Oleh karenanya, dalam hal yang memang terdapat perbedaan di antara perempuan dan laki-laki, juga harus terdapat ‘perbedaan’ perlakuan. Dan ‘perbedaan’ ini merupakan sunnatullah (hukum alam). Dan perlu digarisbawahi bahwa ‘perbedaan’ tersebut tidak selamanya merendahkan salah satu pihak. T.i.d.a.k.
Baiklah, sebelum memasuki pembahasan berikutnya, rasanya penting untuk melihat secara cermat bagaimana keadaan perempuan di era kini atau ’era modern’. Feminisme yang pasalnya berasal dari dunia Barat tentu akan relevan apabila dikaitkan dengan fakta era kini yang notabenenya berkiblat pada kehidupan peradaban Barat. Apakah benar feminisme mampu membuahkan kemaslahatan bagi kaum perempuan? Apakah benar dengan meyetarakan segala hal yang ada di antara area perempuan dan laki-laki akan membuahkan kemaslahatan khususnya bagi perempuan? Mari kita simak fakta kondisi perempuan di era kini.
Secara de djure, perempuan di era kini memang tidak begitu tampak tertindas. Namun apabila ditelusuri lebih lanjut, secara de facto, perempuan di era modern ini pun juga mengalami penindasan, yang bahkan seringkali tidak disadari oleh pihak perempuan itu sendiri. Pelecehan serta ketertindasan yang dialami tidak jauh berbeda dari apa yang terjadi di masa pra islam. Fenomena single parent, abosri, prostitusi, pornografi, pemerkosaan dan fenomena-fenomena lainnya bertebaran dimana-mana. Di era modern memang tidak ada lagi anak perempuan yang dibunuh, akan tetapi beribu bayi di dalam Rahim dikeluarkan secara paksa. Di era modern ini memang tidak ada lagi perempuan yang disewakan kepada lelaki lain, akan tetapi kini bertebaran perempuan yang siap menjual dirinya sendiri di ranah prostitusi. Di era kini memang tidak ada lagi perempuan yang berada di bawah kekang lelaki secara mutlak, namun banyak perempuan yang harus memerankan dua peran penting sekaligus dalam sebuah keluarga. Demikianlah fakta singkat perempuan di era modern kini, di mana faham feminisme telah berkembang di tengah sendi-sendi kehidupan masyarakat. Di mana kehidupan baik itu di kalangan muslim maupun non muslim telah berkiblat kepada barat. Kehidupan yang semakin tidak memanusiakan perempuan.
“Muliakanlah Aku...! Muliakanlah Kami…! Muliakanlah Perempuan…!”. Lantas, dengan apa perempuan dapat ditinggikan derajatnya? Dengan apa perempuan dapat mendapatkan kemuliaan? Siapa yang mampu memanusiakan perempuan?
Jawabannya tidak lain dan tidak bukan ialah Islam. Sebuah agama yang juga sekaligus sebagai sebuah ideologi yang mana memiliki aturan yang sempurna. Islam yang sempurna yang mana aturannya meliputi seluruh aspek kehidupan, mulai dari hal yang paling dasar seperti aqidah, hingga hal-hal lainnya seperti ibadah, mu’amalat, uqubat (sanksi), siyasah (politik), math’umat (makanan), malbusat (pakaian) dan masih banyak lagi. Islam yang seluruh hukumnya berasal dari Dzat Yang Maha Menciptakan alam semesta dan seisinya, Dzat yang Maha Mengetahui segala hal yang tidak diketahui oleh makhluk-Nya; yakni Allah. 
Hanya islam lah yang mampu memuliakan perempuan, meninggikan derajat perempuan dan memanusiakan perempuan. Dalam hal spiritual, perempuan dan laki-laki sama sekali tidak dipandang berbeda, bahkan oleh Sang Khaliq sekalipun. Tinggi atau rendahnya derajat seseorang, baik atau buruknya seseorang tidak dibedakan melalui jenis kelamin, apakah ia perempuan ataukah laki-laki, melainkan melalui ketaqwaannya. Bagaimana kadar ketaqwaan seseorang kepada Rabbnya, itulah ukuran tinggi atau rendahnya seseorang di mata Sang Khaliq; baik itu perempuan maupun laki-laki.
Hal tersebut Allah firmankan dalam Q.S al-Ahzab [33]: 35, Q.S Ali Imran [3]: 195, Q.S. an-Nahl [16]: 97, dan masih banyak lagi nash yang mengatakan hal serupa.
¨bÎ)šúüÏJÎ=ó¡ßJø9$#ÏM»yJÎ=ó¡ßJø9$#uršúüÏZÏB÷sßJø9$#urÏM»oYÏB÷sßJø9$#urtûüÏGÏZ»s)ø9$#urÏM»tFÏZ»s)ø9$#urtûüÏ%Ï»¢Á9$#urÏM»s%Ï»¢Á9$#urtûïÎŽÉ9»¢Á9$#urÏNºuŽÉ9»¢Á9$#urtûüÏèϱ»yø9$#urÏM»yèϱ»yø9$#urtûüÏ%Ïd|ÁtFßJø9$#urÏM»s%Ïd|ÁtFßJø9$#urtûüÏJÍ´¯»¢Á9$#urÏM»yJÍ´¯»¢Á9$#uršúüÏàÏÿ»ptø:$#uröNßgy_rãèùÏM»sàÏÿ»ysø9$#uršúï̍Å2º©%!$#ur©!$##ZŽÏVx.ÏNºtÅ2º©%!$#ur£tãr&ª!$#Mçlm;ZotÏÿøó¨B#·ô_r&ur$VJÏàtãÇÌÎÈ
35. Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Islam pun tidak menghilangkan hak wanita secara mutlak untuk berperan di ranah publik. Islam juga tidak merampas hak-hak istimewa kaum wanita. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga diwajibkan menuntut ilmu. Dan sebagaimana laki-laki, perempuan juga diwajibkan berdakwah, menyeru kema’rufan dan mencegah kemungkaran. Pendapat serta aspirasi kaum perempuan akan diterima layaknya aspirasi kaum laki-laki. Perempuan juga layak menerima waris sebagaimana laki-laki, bukan menjadi komoditas yang diwariskan. Perempuan juga tetap diperbolehkan bekerja, walupun tidak sampai diharuskan. Perempuan juga tetap diperbolehkan ikut serta dalam berjihad, walaupun tidak sampai diharuskan sebagaimana laki-laki.
Dan disamping kebolehan-kebolehan tersebut, perempuan memiliki beberapa tugas mulia, yang hanya diperuntukan bagi kaum perempuan semata. Tugas tersebut tidak lain dan tidak bukan ialah tugas sebagai Umm wa Rabbatul Bait (Ibu dan Manager Rumah Tangga). Dimana perempuan harus mengandung selama 9 bulan, menyapih selama 2 tahun, menjadi guru pertama bagi para anak, melayani dan memenuhi kebutuhan anak dan suami, dan lain sebagainya. Islam memposisikan perempuan sebagai peran penting pencetak generasi. Karena notabenenya, apabila kualitas perempuan pada suatu kaum atau bangsa buruk, otomatis kualitas generasinya pun akan buruk.
Dan semua hal itu sama sekali tidak mengindikasikan bahwa perempuan memiliki kewajiban yang lebih besar dan lebih banyak dibandingkan dengan kaum laki-laki, sehingga disimpulkan bahwa Islam menindas wanita. B-u-k-a-n. Dengan kedudukan tersebut, wanita menjadi mulia dan mendapatkan posisinya sebagaimana fitrahnya sebagai seorang wanita, bukan malah tertindas dan terjajah.Sekali lagi, Allah memperuntukan hal tersebut semata-mata untuk meninggikan derajat kaum perempuan. Dan Allah telah menjanjikan balasan yang tiada tara atas semua itu. Balasan yang tidak kalah hebat dari balasan seorang laki-laki yang mati syahid di medan perang. Bukan hanya sekedar balasan di kehidupan duniawi, tapi juga untuk bekal di alam yang kekal nanti.
Dan Islam telah memuliakan wanita sejak 14 abad yang lalu.
Jadi, bukankah sudah jelas, siapa yang mampu memuliakan wanita?
(Salma Azizah)


 

Catatan si Pengelana Template by Ipietoon Cute Blog Design