Minggu, 11 Januari 2015

Kisah di Balik Sebuah Cangkir



Cangkir. Dengannya kita bisa meminum secangkir air. Dengannya kita bisa meneguk secangkir kopi, secangkir teh, secangkir susu, secangkir jahe dan masih banyak lagi. Keberadaanya bukanlah suatu hal yang asing bagi kita. Baik itu di rumah, di kantor, di restoran, bahkan di sebuah rumah sakit pun kita bisa menjumpainya.

Hal itu membuktikan bahwasanya cangkir sangatlah bermanfaat bagi kita sebagai manusia. Tanpanya, mungkin kita tidak akan mungkin bisa meminum apapun sebagaimana kita meminum di hari ini. Tanpanya, mungkin kita akan meminum sesuatu menggunakan batok kelapa, pelepah pisang, dedaunan yang dibentuk sedemikian rupa, bahkan hanya menggunakan tangan atau malah menggunakan mulut sebagaimana beberapa hewan mamalia melakukannya.

Tragis..

Itu apabila kita berandai-andai..

Maka dapat disimpulkan, bahwa cangkir memiliki peran penting dalam kehidupan kita. Tanpanya, mungkin banyak sekali hal yang tidak bisa kita perbuat layaknya sekarang. Namun peran penting cangkir ini sering sekali kita lupakan. Kita sering kali acuh tak acuh dan tidak peduli akan hal-hal remeh yang sebenarnya tidak bisa kita anggap remeh. Kita sering kali melupakan hal-hal penting yang berada di sekitar kita dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna.

Namun pada tulisan kali ini, saya tidak akan membahas lebih jauh lagi terkait hal-hal penting yang sering kali dilupakan. Di sini, saya akan lebih dalam lagi membahas pelajaran yang bisa kita ambil dari sebuah cangkir. Mungkin nilainya tidak seberapa, namun tidak ada salahnya apabila kita tetap membahasnya. Dan yang terpenting, agar kita tidak melupakan hal-hal yang remeh.


Alkisah, sebelum si tuan cangkir benar-benar menjadi cangkir, ia hanyalah sebuah tanah tidak berdaya, layaknya milyaran juta hamparan tanah yang ada di bumi ini. Dia diinjak-injak dan seolah-olah tidak berdaya. Tidak ada yang pernah menganggapnya, dan siapapun yang melewatinya akan lewat begitu saja. Juga, tidak ada yang pantas membuatnya istimewa di mata kebanyakan orang.
Namun dari sanalah cangkir berasal. Dia diambil, kemudian dipilah; manakah diantara milyaran juta hamparan tanah yang layak dijadikan sebuah cangkir.
Tidak cukup sampai situ, setelah dia berhasil melewati proses penyeleksian, dia dibentuk sedemikian rupa sebagaimana yang betuk yang diinginkan. Sulit? Itu pasti. Mencetak sebuah bentuk tertentu dari seonggok tanah yang sebelumnya sama sekali tidak memiliki bentuk apapun adalah sesuatu yang tidak mudah.
Tidak cukup di situ. Dia harus dijemur di bawah panasnya trik matahari selama beberapa hari, tanpa ada istirahat barang satu hari pun hingga saatnya telah usai. Di masa ini, terkadang salah satu bagian tubuhnya mengalami retak sehingga mengharuskannya kembali melewati masa pembentukan, atau menjalani masa perbaikan (rehabilitasi). Begitu terus berulang kali hingga ia mampu melewati target yang sedari tadi telah menantinya.
Kemudian dia harus dibakar di atas api yang suhunya begitu panas sehingga membuatnya berubah warna menjadi hitam legam (karena gosong). Begitu sulit, dan bahkanharus melewati lebih dari satu kali proses pembakaran. Tergantung sejauh mana capaian yang berhasil diraih olehnya.
Belum usai proses yang harus dilewati olehnya. Dia harus melewati proses finishing, dimana ia dipoles secantik mungkin sebagaimana yang telah diinginkan. Dan kemudian kembali dijemur di bawah panasnya terik matahari untuk beberapa saat, hingga ia berhasil dikatakan ‘layak’.
Maka baru dari situ, lahirlah sang tuan cangkir.


Begitulah deskripsi kasar proses pembuatan cangkir. Disini, bukan ‘bagaimana dia dibakar’ yang akan lebih saya tekankan. Namun yang perlu kita perhatikan di sini, seonggok tanah untuk benar-benar menjadi sebuah cangkir memerlukan sebuah proses yang begitu panjang dan tentunya tidak mudah. Maka apabila sebuah cangkir saja memerlukan waktu yang lama serta proses yang panjang untuk memperolehnya, apalagi kita; yang ingin menjadi sosok gengerasi terbaik yang mampu memimpin umat islam di era yang aka datang nanti..? Pasti membutuhkan waktu yang lebih lama, serta proses yang lebih panjang, lebih rumit dan tentunya lebih sulit. Benar atau benar banget?

Nah, dari penjabaran yang sudah sangat panjang-lebar (kali tinggi), saya ingin mengatakan; apabila kita ingin menjadi sosok generasi yang terbaik, maka kita harus pula rela dalam menghadapi lelahnya proses serta bersabar dan istiqomah dalam menggapainya. Saya sadari, hal itu memanglah sesuatu yang sulit. Namun proses yang istimewa­-lah yang akan mebuat kita begitu istimewa. Kita tidak akan mendapatkan sesuatu yang istimewa apabila tidak mampu melewati sesuatu yang istimewa pula. Dan jerih payah, segala kelelahan, cobaan, rintangan, dan semacamnya lah yang dimaksud dengan istimewa itu.
Maka sebagai calon generasi terbaik, sudah seharusnya kita mampu bersabar, istiqomah, serta terus berjuang menghadapi segala rintangan yang akan menghantarkan kita sebagai sesuatu yang istimewa. Lelah, kecewa, putus asa, jenuh, dan lainnya adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Namun jangan pernah membiarkan diri kita terus-menerus menggelayut di dalamnya.

Kita harus bangkit dan bergerak. Berani menghadapi segala resiko serta ancaman yang akan menghadang. Mengadu kepada-Nya akan segala masalah yang kita hadapi adalah sesuatu yang tidak masalah. Namun seorang generasi terbaik akan berani mengatakan kepada segala masalah yang ia hadapi bahwa ia memiliki Allah yang senantiasa menolongnya, serta membimbingnya untuk meraih rido-Nya.

Jangan pernah menjadi sosok yang lebih lemah dari sebuah cangkir. Camkan itu.. [sns]


0 comment:

Posting Komentar

Dengan senang hati kami menerima komentar dari para pembaca yang terhormat.
Komentar yang diberikan merupakan sebaik-baiknya masukan untuk blog ini kedepannya.

 

Catatan si Pengelana Template by Ipietoon Cute Blog Design