Pada tanggal 7-8 November 1945, umat Islam di seluruh Indonesia berikar dan menyatukan pandangan melalui Kongres Umat Islam di Yogjakarta, yang dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang. Maka pada tanggal 7 November 1945 Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) mendeklarasikan diri sebagai partai politik yang pada awalnya hanyalah sebagai organisasi kemasyarakatan dan federasi yang diakui oleh Jepang, layaknya Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam. Dari peleburan federasi inilah, terbentuk Partai Politik Islam Masyumi.
Masyumi sendiri berdiri pada tanggal 24 Oktober 1943, tepatnya 2 bulan setelah dibubarkannya Organisasi Majelis Islam A’la (MIAI); bidan dari Partai Politik Islam Masyumi. MIAI; ormas yang dikomandoi KH Hasyim Asy'ari ini didirikan sebagai wadah pemersatu umat Islam, juga sebagai langkah menghadapi politik Belanda. Namun di masa penjajahan Jepang, karena dianggap tidak memihak pada Jepang, MIAI pun akhirnya dibubarkan.
Adapula yang mengtakan, bahwasanya dalam mendirikan Masyumi, di dalamnya terdapat kepentingan para kalangan dari pihak penjajah Jepang. Dikatakan, jepang yang saat itu berupaya menduduki Indonesia sebagaimana Belanda pada tempo waktu sebelumnya membutuhkan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam, mengingat ia tidak butuh partai-partai Islam yang sudah ada, termasuk MIAI.
Namun yang perlu difahami di sini, benar atau pun salah pernyataan di atas tadi tidaklah membuat visi dan misi atau dalam kata lain tujuan didirikannya Masyumi berubah, tetap pada kadarnya, yakni Partai Politik Islam. Selain mempersatukan umat Islam Indonesia, alasan lain yang menjadi pertimbangan didirikannya Masyumi adalah agar Islam memiliki peranan yang signifikan ditengah arus perubahan dan persaingan di Indonesia saat itu.
Adapun tujuan Masyumi seperti dalam Anggaran Dasar ditegaskan : “Tujuan partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan Negara Indonesia, menuju Keridhaan Allah”. Tujuan ini dijabarkan dalam Tafsiran Anggaran Dasar, dimana diberikan gambaran kasar dan umum tentang apa yang disebut suatu negara yang berdasarkan Islam itu
Di dalam Anggaran Dasar yang telah mereka buat pun tercantum usaha partai untuk mencapai tujuannya, yakni:
a. Menginsyafkan dan memperluas pengetahuan serta kecakapan Umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik
b. Menyusun dan memperkokoh kesatuan dan tenaga umat Islam Indonesia dalam segala lapangan
c. Melaksanakan kehidupan rakyat terhadap perikemanusiaan, kemasyarakatan, persaudaraan dan persamaan hak berdasarkan taqwa menurut ajaran Islam Bekerjasama dengan lain-lain golongan dalam lapangan bersamaan atas dasar harga menghargai.”
Dan lagi, Masyumi ialah partai yang menghantarkan masuknya Muhammad Natsir ke bangku kementrian.
II. Andil Masyumi dan Muhammad Natsir Dalam Mengelola Negara
Sebagaimana partai-partai politik yang lain, Masyumi juga turut mendapat kedudukan dalam kabinet dan aparat pemerintahan lainnya. Perjuangan itu bukanlah untuk merebut kedudukan semata-mata, akan tetapi justru untuk turut melaksanakan dan mengambil tanggungjawab menjalankan kepemimpinan negara dengan menjadikan islam sebagai dasar negara, dan menerapkan islam sebagai peraturan negara.
Adapun Muhammad Natsir sendiri dalam tindakannya begitu sangat terlihat sebagai seorang pemimpin yang mengedepankan kepentingan rakyat. Sebagai seorang ketua umum partai Masyumi, beliau memberikan arahan dan pandangannya bagi partai ini untuk dapat berkiprah di lapangan yang strategis, diantaranya; lapangan pemerintahan, dan lapangan pembinaan ummat.
Bagi Muhammad Natsir, negeri yang telah berhasil merdeka haruslah dibangun dengan pembangunan berasaskan keadilan sehingga dapat memberikan kebahagiaan penghidupan untuk seluruh rakyat. Tidak menimbulkan perasaan-perasaan tidak puas bagi daerah-daerah tertentu karena kebutuhan mereka kurang terpenuhi, padahal mereka mampu menghasilkan sumber penghasilan negara yang cukup tinggi.
Dalam Tafsiran Anggaran Dasar, di sana diberikan gambaran kasar dan umum tentang apa yang disebut suatu negara yang berdasarkan Islam itu :
“Kita menuju kepada “Baldatun Thoiyibatun, wa rabbun ghofur” negara yang berkebajikan diliputi keampunan Ilahi, dimana kaidah-kaidah kedaulatan rakyat, kemerdekaan, persamaan, tashamuh (lapang dada), keadilan sosial sebagai yang diajarkan oleh Islam, terlaksana sepenuhnya; dimana kaum muslimin mendapat kesempatan untuk mengatur perikehidupan pribadi dan masyarakat sesuai dengan ajaran dan hukum-hukum Islam sebagai yang tercantum dalam Qur’an dan Sunnah.”
Peran Masyumi dalam turut andil memimpin negara ini semakin jelas setelah RIS (Republik Indonesia Serikat) dan sistem parlementer diterapkan, dibentuklah Dewan Perwakilan Rakyat yang memiliki jumlah anggota 232 orang, yang mencerminkan apa yang dianggap sebagai kekuatan partai yang ada waktu itu. Pada saat itu, Masyumi merupakan kelompok terbesar di Dewan Perwakilan Rakyat, di mana mereka memiliki 49 kursi (21%).
Dominasi Masyumi di Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya menghantarkan mereka untuk dipilih membentuk kabinet pertama RI pada masa parlementer. Di bawah kepemimpinan Mohammad Natsir, kabinet yang didominasi oleh Masyumi itu berlangsung antara September 1950 hingga Maret 1951.
Pada 6 September 1950 – 21 Maret 1951, Muhammad Natsir sendiri –atas nama Masyumi- pernah diminta Soekarno yang ketika itu menjabat sebagai presiden I untuk membentuk suatu kabinet yang dipimpin langsung olehnya. Selain Muhammad Natsir, beberapa tokoh Masyumi lainnya pun pernah diamanahkan membentuk suatu kabinet layaknya Muhammad Natsir. mereka itu ialah Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952), Ali Sastroamijoyo (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955 dan 20 Maret 1956 – 4 Maret 1957), dan Burhanuddin Harahap (12 Agustua 1955 – 3 Maret 1956).
III. Posisi Masyumi dalam Kursi Pemerintahan Pemilu
Segera setelah berdiri, Masyumi tersebar merata di segenap penjuru tanah air Indonesia bahkan hampir setiap kecamatan terdapat kepengurusan anak cabang. Sampai dengan tanggal 31 Desember 1950, secara resmi tercatat ada 237 Cabang (Tingkat Kabupaten), 1.080 Anak Cabang (tingkat Kecamatan) dan 4.982 Ranting (tingkat Desa) dengan jumlah anggota sekitar 10 juta orang.Hal itu dapat terjadi karena dukungan yang diberikan oleh organisasi-organisasi yang menjadi pendukung Masyumi. Ada 8 unsur organisasi pendukung Masyumi yakni NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad, Mai’iyatul Wasliyah, Al-Ittihadiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Dengan demikian Masyumi berhasil menyatukan organisasi dan umat Islam Indonesia dalam satu wadah perjuangan.
Masyumi merupakan partai islam terbesar yang pernah ada di Indonesia. Jumlah anggota pendukungnya untuk satu kabupaten saja, bagi partai politik lainnya sama dengan anggota seluruh Indonesia. Masjoemi juga memiliki Laskar Hisbullah yang bersenjata berjumlah sekitar 20.000 hingga 25.000 pemuda. Sampai dengan tanggal 31 Desember 1950, secara resmi tercatat ada 237 Cabang (Tingkat Kabupaten), 1.080 Anak Cabang (tingkat Kecamatan) dan 4.982 Ranting (tingkat Desa) dengan jumlah anggota sekitar 10 juta orang.
Sejarah bangsa Indonesia mencatat nama besar Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai partai Islam terbesar yang pernah ada. Masyumi pada masanya sejajar dengan Partai Jama’atul Islam di Pakistan dan Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Banyak yang lupa akan hal ini, dan memang dalam pendidikan politik nasional kebesaran Masyumi seolah tertutupi. Padahal dalam masa keberadaannya, Masyumi sangat identik dengan gerakan politik Islam yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks kenegaraan.
Selain prestasi Masyumi dalam perkembangannya yang begitu pesat, Masyumi pun berhasil mendapatkan suara mayoritas Masyarakat Indonesia kala itu. Hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955 membuktikan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya (26.12%), Jawa Barat, Sumatera Selatan (43,13%), Sumatera Tengah (50,77%), Sumatera Utara (37%), Kalimantan Barat (33,25%), Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan (39,98%), dan Maluku (35,35%). Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.
Adapaun hasil dari pemilu 1955 antara lain : Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8,4 juta suara (22,3%); Masyumi - 7,9 juta suara (20,9%); Nahdlatul Ulama - 6,9 juta suara (18,4%); Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6,1 juta suara (16%); dan dari pemilu 1955 ini, Masyumi mendapatkan 57 kursi di parlemen.
Pertanyaannya, apa yang membuat Partai Politik Islam ini begitu diminati oleh masyarakat hampir secara keseluruhan?
Para elit Masyumi yang disegani. Mereka yang dengan tegas menolak segala kemewahan fasilitas yang ditawarkan oleh kekuasaan. Sederhana, merakyat, humanis, mungkin itulah garis besar jawaban andaikata mereka yang kala itu menjadi saksi dimintai deskripsi mengenai para elit Masyumi. Selain itu, Masyumi pun bukan menjadi partai yang hanya tampil di arena perpolitikan ketika hendak pemilu saja. Setiap saat mereka tampil sebagai figur pejuang berideologi islam. Tetap aktif mengoreksi segala hal yang terlihat tidak baik. Walaupun pasif di kursi pemerintahan, mereka tetap aktif dalam menawarkan solusi untuk problematika yang terjadi. Mungkin pada faktanya, memang begitulah seharusnya figur para elit Partai Politik Islam. Memimpin dan menyelesaikan problematika masyarakat.
IV. Mengupas Peran Soekarno Dalam Goncangan Perpolitikan Partai Masyumi
Soekarno melihat bahwa partai politik Islam, Masyumi, merupakan sebuah rintangan, sebab sejak masa revolusi, partai tersebut telah tumbuh besar menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Hingga awal tahun 1950 Masyumi masih menjadi sebuah kekuatan yang dominan di parlemen. Hal itu dikarenakan Soekarno pernah menunjuk formatur kabinet dari Masyumi sebanyak dua kali berturut-turut. Salah satu peristiwa penyerahan formartur kepada Masyumi sangat mungkin justru merupakan upaya memecah kekuatan dalam tubuh Masyumi. Dalam salah satu dari ketiga penyerahan pemilihan formatur kepada Masyumi tersebut, Soekarno memilih Sukiman sebagai formatur tanpa meminta pesetujuan Natsir sebagai ketua eksekutif Masyumi. Tindakan Sukiman tetap melaksanakan tugas sebagai formatur tanpa persetujuan eksekutif partai Masyumi tersebut dianggap sebagai tindakan indispliner dalam kepartaian.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa dalam tubuh Masyumi sendiri terdiri dari kelompok-kelompok. Pada saat pemerintahan berada di bawah Masyumi itulah maka Soekarno melihat kelemahan intern Masyumi terutama berkaitan dengan perebutan pengaruh jika tidak bisa dikatakan sebagai kekuasaan antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Dalam kongres Masyumi yang berlangsung pada akhir tahun 1949 terjadi perombakan kedudukan Majelis Syura, yang berisi para kyai atau ulama, yang sebelumnya merupakan majlis yang memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan Masyumi menjadi setingkat dengan badan penasehat saja. Dengan adanya perubahan struktur tersebut maka ulama dari kalangan NU merasa posisinya tergeser sebab arahan kerja dari badan yang terbentuk selanjutnya tersebut kurang mampu mempengaruhi kebijakan partai.
Ditambah lagi melihat kemungkinan kendali kementrian Agama jatuh ke tangan Muhammadiyah, maka bagi kalangan NU, massa mereka yang cukup besar menyokong Masyumi hanya akan menjadi ‘sapi perah’ bagi kekuasaan yang didominasi oleh orang-orang Muhammadiyah. Kemudian semakin disempurnakan oleh fakta yang membuktikan bahwa kementrian agama tetap jatuh ke tangan Muhammadiyah.
Hal itu cukup menjadi faktor- faktor yang akhirnya membuat NU berani memutuskan dan menyatakan telah memisahkan diri dari partai Masyumi, dan membuat partai sendiri.
Hal ini diperparah dengan adanya rumusan politik PKI, yang notabene menjadikan NU sebagai sasaran empuk sekaligus korban permainan politik PKI. Bahkan untuk menghadapi Pemilu 1955, PKI bersedia menggandeng NU yang merupakan pecahan dari Masyumi. Atas nama kebaikan PKI, mereka mengeluarkan sebuah statemen yang seakan-akan menjatuhkan martabat Partai Politik Masyumi. Hal ini mereka lakukan dalam rangka mencegah terjadinya kejasama antara PNI dan Masyumi.
Dalam permainan politik pada masa ini, PNI di bawah kepemimpinan Sidik Djojosukarto lebih memilih bekerja sama dengan PKI dibandingkan dengan Masyumi. Dapat ditelusur bahwa alasan utamanya tentu karena Masyumi lebih merupakan saingan utama dibandingkan PKI dalam Pemilu 1955 dan pengaruh Masyumi yang agamis akan dinetralisasi dan mendapatkan lawan PKI yang berideologi komunis. Terbukti pula salah satu akibat pertarungan politis tersebut telah memecah kelompok-kelompok dalam tubuh Masyumi, dengan ditandai oleh keluarnya NU sebagai ormas utama dalam partai berhaluan Islam tersebut.
Dan tahukah Anda, bahwasanya Soekarno ialah sosok yang berserikat dengan PKI?
V. Kisah Pembubaran Paksa Partai Masyumi
Perpecahan tidak dapat dihindari karena godaan politik menjadikan pilar-pilar penyangga Masyumi menjadi goyah, sehingga akhirnya mereka menyatakan keluar dari keanggotaan Masyumi, dikarenakan tawaran pihak lain dirasakan lebih menguntungkan dan lebih menjanjikan. PSII keluar dari Masyumi Juli 1947 dan membentuk partai sendiri, NU menyusul keluar pada bulan Mei 1952.
Goncangan yang paling besar ialah ketika dibentuknya PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), dengan didukung oleh tokoh-tokoh Masyumi seperti: Muhammad Natsir, Syafrudin Prawiranegara, Burhanudin Harahap dan tokoh dari PSI Sumitro Djojohadikusumo memproklamirkan berdirinya PRRI di Bukittinggi.
Di dalam PRRI Syafrudin Prawiranegara yang pernah menjadi presiden pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), diangkat menjadi presiden PRRI, M. Natsir sebagai juru bicara, dan Burhanudin Harahap menjadi Menteri Pertahanan dan Kehakiman.
Di dalam PRRI Syafrudin Prawiranegara yang pernah menjadi presiden pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), diangkat menjadi presiden PRRI, M. Natsir sebagai juru bicara, dan Burhanudin Harahap menjadi Menteri Pertahanan dan Kehakiman.
Masa permulaan demokrasi terpimpin tahun 1957 mencatat Masyumi bukan saja tambah renggang dan asing bagi Soekarno melainkan juga tambah bertentangan secara konfrontatif dengan Presiden. Dengan Natsir sebagai Ketua Umum Partai, garis kebijaksanaan politik Masyumi terhadap Soekarno tambah keras, ia tidak dapat berkompromi dengan Soekarno dalam soal demokrasi. Dalam mekanisme pelaksanaan demokrasi terpimpin anggota-anggota yang duduk dalam Dewan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) adalah mereka yang disukai Soekarno, dan bertugas mengiyakan Move politiknya. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa orang-orang Masyumi dan PSI yang menentang politik Soekarno harus tersingkir.
Di mata Masyumi sistem demokrasi terpimpin akan membawa bencana bagi bangsa dan negara. Semangat inilah sebagai idealisme martir Masyumi, yang mempunyai resiko politik yang besar bagi golongan modernis Muslim di Indonesia. Masyumi sebagai cagar demokrasi tampaknya tidak punya pilihan lain kecuali menghadapi Soekarno dan sistemnya. Sementara itu, PKI yang sangat lihai dalam manipulasi politik, berpihak sepenuhnya kepada sistem Soekarno.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, jargon politik PKI tentang golongan “kepala batu” sudah menyatu dengan jargon politik Soekarno yang juga menilai Masyumi sebagai kekuatan “kepala batu” yang merintangi penyelesaian revolusi Indonesia. Karena itu, Masyumi tidak patut lagi hidup pada era demokrasi terpimpin. Dengan demikian, di antara prinsip demokrasi terpimpin sebagaimana dikemukakan oleh Soekarno tidak berlaku bagi Masyumi. Masyumi harus dikorbankan “demi revolusi”. Semua ini adalah kepandaian manuver PKI dengan bantuan penuh dari Presiden Soekarno.
Tidak disangka, pada sat itu pula, 15 Agustus 1960, Soekarno menerbitkan Keppres Nomor 200/1960, yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Akhirnya pukulan terakhir dialami partai Masyumi yang gigih mempertahankan prinsipnya ini. Sehingga pada pukul 05.20 pagi tanggal 17 Agustus 1960 hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pimpinan Pusat Masyumi menerima surat dari Direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa Masyumi harus dibubarkan. Dalam waktu 30 hari setelah keputusan ini, yaitu 17 Agustus 1960. Pimpinan partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar, pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Kalau tidak, partai Masyumi akan diumumkan sebagai partai terlarang. Kurang dari sebulan demikian yaitu tanggal 13 September, pimpinan pusat Masyumi menyatakan partainya bubar. Dan yang terpenting, ini tidak berarti bahwa Masyumi menyetujui instruksi Presiden seccara sepenuhnya.
Apa yang ada di kepala orang Masyumi waktu itu ialah Soekarno mulai menjadi diktator dan negara makin bergerak ke arah kiri. Dalam perhitungan mereka, tanpa Masyumi, maka kekuatan PKI akan semakin besar dan sukar dibendung. Kendatipun memiliki basis massa yang besar, elit politisi NU dibawah pimpinan Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri, takkan kuat menghadapi Soekarno dan PKI sendirian.
Karena itu, mereka memilih alternatif yang juga tidak menyenangkan yakni membubarkan diri, dengan harapan suatu ketika partai itu akan hidup kembali, jika situasi politik telah berubah. Prawoto sendiri mengatakan, Keppres 200/1960 itu ibarat vonis mati dengan hukuman gantung, sementara eksekusinya dilakukan oleh si terhukum itu sendiri. Memang terasa menyakitkan. Meskipun Masyumi telah membubarkan diri, dan tokoh-tokohnya yang terlibat dalam PRRI telah memenuhi panggilan amnesti umum dan mereka menyerah, namun perlakuan terhadap mereka tetap saja jauh dari hukum dan keadilan.
Tokoh-tokoh Masyumi yang menyerah itu, Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Boerhanoeddin Harahap ditangkapi. Bahkan mereka yang tidak terlibat PRRI seperti Prawoto, Mohamad Roem, Sunan Nasution, Isa Anshary, Kasman Singodimedjo, Buya Hamka dan yang lain, juga ditangkapi tanpa alasan yang jelas. Bertahun-tahun mereka mendekam dalam tahanan di Jalan Keagungan, Jakarta, tanpa proses hukum.
VI. Menjadi Korban Diskriminasi Politik Rezim Orde Lama
Setelah pembubaran Masyumi, derita serta tekanan yang diterima oleh mereka tidaklah berhentu sampai di situ. Pemerintahan soekarno yang represif kala itu memperlakukan anak-anak dan keluarga orang Masyumi hampir sebagaimana dengan perlakuan yang diterima oleh keluarga PKI di masa Orde Baru. Dan yang menarik di sini, PKI yang akan menjadi korban pembantaian serta diskriminasi pada masa Orde Baru, kali ini menjadi pelaku pembantaian.
Seperti yang telah diketahui oleh banyak orang, bahwa ketika itu, PKI yang berada dibalik Soekarno; presiden RI, sedang mengalami kejayaan. Dan pada saat itulah, mereka membantai orang-orang Masyumi di Madiun tahun 1948, serta menculik dan menghilangkan paksa orang-orang Masyumi di Jawa Barat dan tempat-tempat lain. Hendaknya sejarah jangan melupakan semua peristiwa ini. Dan andaikata Anda seorang pejuang HAM, ketahuilah bahwa PKI bukanlah satu-satunya korban, dan dulu mereka adalah sang terdakwa.
VII. Akhir Kata
Berani mewujudkan tekad kuat nan ikhlas dengan perjuangan yang seakan-akan tidak akan pernah menjumpai titik nol. Berani berbeda di tengah arus pertarungan ideologi yang bahkan menjadikan nyawa sebagai taruhannya. Konsisten terhadap prinsip yang mereka miliki, juga perjuangan yang mereka jalani walau terus dihantui lelah. ISTIQOMAH.
Semoga apa yang telah mereka perjuangkan menjadi suatu hal yang tidak sia-sia, terutama bagi kita, para revolusiner bangsa. Senantiasa menirukan semangat juang dan keberanian mereka. HAMASAH.
REFRENSI
0 comment:
Posting Komentar
Dengan senang hati kami menerima komentar dari para pembaca yang terhormat.
Komentar yang diberikan merupakan sebaik-baiknya masukan untuk blog ini kedepannya.