Tampilkan postingan dengan label inspiratif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label inspiratif. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 Mei 2016

Karena Takdir (?)



Merasa sulit move on? Atau, merasa...
Aku adalah orang paling menderita di dunia....!
Semua orang membenciku....!
Tidak ada lagi yang peduli denganku....!
Mengapa aku berbeda dengan yang lain...?!
Mengapa masalah bertubi-tubi mendatangiku....?!
Kapan kebahagiaan menghampiriku...?!
Kemudian diakhiri dengan pertanyaan, “apakah semua ini takdir...?
Pernyataan dan pertanyaan ini kadang kali hinggap di benak kita. Muncul begitu saja, yang mana di kemudian hari menghancurkan impian tentang masa depan kita. Juga turut membantai bibit-bibit harapan yang hendak mekar. Bahkan sekaligus juga mencerabut dengan paksa segala memori tentang prestasi yang telah gapai. Sedikit demi sedikit. Tanpa kita sadari. Terlebih di kala kegagalan sedang ‘mampir’ di kehidupan kita. Setuju?
And bagi kamu-kamu yang tidak merasa demikian, berbahagialah. Setidaknya kamu telah selamat dari wabah remaja yang satu ini.
Oke, di sini saya tidak ingin berpanjang lebar. Tidak. Sama sekali tidak. Saya hanya ingin menjawab pertanyaan terakhir, dari beberapa pertanyaan yang saya cantumkan sebelumnya. Menurut apa yang saya fahami.
Apakah semua ini takdir...?
Berbicara tentang takdir, islam juga memiliki pandangan yang khas lho, sobat. Kita sering kali menyebutnya dengan ‘Qodho dan Qodar’. Sobat tahu kan istilah ini? Pastilah, apalagi bagi kamu-kamu yang muslim. Apalagi istilah ini termasuk di dalam rukun iman yang enam, yang bahkan sudah kita pelajari semenjak Tk dan SD. Betul? Betul? Betul?
Oh ya, tapi pada tulisan kali ini, saya hanya akan sedikit menjelaskan beberapa hal terkait Qodho. Untuk Qodar, kita bahas kapan-kapan di tulisan lainnya ya..
Baiklah, langsung saja. Qodho menurut istilah merupakan ketetapan yang apabila telah diputuskan oleh-Nya, maka tidak ada lagi yang mampu menolaknya. Untuk lebih mudah memahaminya, begini saja sobat. Coba sobat perhatikan baik-baik pernyataan yang satu ini.
Dalam kehidupan, terdapat dua lingkup ruang kendali. Ruang pertama ialah ruang di mana kita diizinkan untuk memilih. Seperti halnya, apakah kita mau makan atau tidak; apakah kita mau belajar atau tidak; mau ke manakah kita melangkah; perkataan apakah yang akan kita ucapkan; dan lain semacamnya. Tidak ada unsur paksaan di dalamnya. Semua murni diserahka kepada kita, sebagai seorang manusia.
Kemudian ruang lingkup kedua ialah ruang di mana kita tidak mampu memilih. Mengapa? Karena Dia Yang Maha Kuasa telah menetapkannya. Seperti halnya, siapakah orang tua kita; apakah kita perempuan ataukah laki-laki; bagaimanakah bentuk wajah dan tubuh kita; dan lain sebagainya. Contoh lainnya, ketika tiba-tiba gempa melanda; pesawat yang kita tumpangi mengalami delay; salah satu sanak keluarga kita ada yang meninggal; orang tua kita bercerai; dan lain sebagainya.
Bukankah kita tidak bisa memilih bentuk tubuh dan wajah kita?
Bukankah kita tidak bisa memilih menjadi seperti burung, ikan, maupun rupa makhluk lainnya?
Bukankah kita tidak bisa memilih siapa yang akan menjadi orang tua dan saudara kita kelak?
Bukankah kita tidak bisa menolak terjadinya musibah seperti gempa, gunung meletus, tsunami, dan lain semacamnya?
Bukankah kita tidak bisa mengembalikan ruh sanak keluarga kita yang benar-benar telah meninggal?
Bukankah kita tidak bisa mnolak perceraian orang tua kita bila itu memang sudah terjadi?
Bukankah kita tiada daya menolak bila telah dinyatakan gagal menjalani ujian akhir, maupun test seleksei masuk perguruan tinggi ataupun sekolah lainnya?
Bukankah begitu?
Yups, betul sekali. Karena semua itu sudah berada di ruang lingkup ‘Qodho’. Kita sama sekali tidak bisa mengingkarinya. Kita tidak bisa menolak, lagipula bagaimana caranya? Kita saja tidak tahu hal-hal tersebut akan terjadi.
Ya, itulah Qodho.
Namun yang akan saya tekankan di sini, kadangkala manusia salah memposisikan diri, apakah itu termasuk Qodho ataukah bukan? Apakah itu ruang lingkup yang kita kuasai, atau malah ruang lingkup yang menguasai kita?
Masih banyak sekali yang menganggap dirinya adalah orang paling menderita di dunia. Atau menganggap semua orang membencinya. Atau menganggap tidak ada lagi yang peduli dengannya. Atau menganggap dirinya selalu berbeda dengan yang lain. Atau menganggap masalah selalu bertubi-tubi mendatanginya. Dan yang paling parah, banyak orang yang menganggap semua itu adalah Qodho.
Nah, ini dia yang kurang tepat.
Sobat bisa membayangkan, Qodho merupakan sebuah lingkaran yang berada di dalam lingkuaran ruang lingkup di mana manusia bisa memilih. Sobat bisa melihat lingkaran yang ada di bawah ini. Lingkaran berwarna biru muda ialah lingkaran di mana terdapat ketetapan Yang Maha Kuasa (Qodho). Lingkaran berwarna biru tua ialah lingkaran di mana manusia diberi kebebasan untuk memilih.



 Nah, letak kesalahannya ialah di kala ruas lingkaran Qodho (biru muda) diperluas dari segi presepsi. Sesuatu yang seharusnya berada di lingkaran biru tua dianggap termasuk ke dalam lingkaran biru muda.


Masih banyak sekali yang menganggap bahwa takdir memutuskan dirinya menjadi orang paling menderita di dunia. Namun nyatanya, coba dia renungkan kembali pernyataan itu. Apakah benar ia adalah yang paling menderita? Apakah ia sudah melakukan usaha untuk menjadi lebih baik? Toh, itu berada dalam kuasa manusia. Atau, coba dia lihat anak-anak yang bertelanjang kaki di jalanan. Atau mereka yang seluruh hidupnya dihantui ketakutan dan kepalaran akibat perang yang melanda. Dan masih banyak hal-hal lain yang dapat dipertimbangkan. So, masih berani mengatakan dirinya adalah yang paling menderita?
Masih banyak yang menganggap bahwa takdir membuatnya dibenci semua orang. Namun coba reungkan kembali. Coba lakukan introspeksi. Jangan-jangan ada di antara perilaku ataupun tutur katanya yang membuat orang-orang menjauh darinya. Toh, itu berada dalam kausa manusia.
Masih banyak yang menganggap bahwa takdir membawanya menjadi selalu berbeda dengan yang lain. Coba renungkan. Apakah berbeda itu salah? Bila memang sebuah kesalahan, apakah ia sama sekali tidak bisa melakukan upaya untuk berubah? Toh, semua itu berada dalam kuasa manusia. Lagipula, masih banyak orang yang ‘berbeda’, namun tetap sukses dalam hidupnya.
Atau, masih banyak yang menganggap bahwa takdir mengundang masalah bertubi-tubi mendatanginya.  Coba renungkan. Apakah hanya dirinya yang ditimpa masalah? Tentu tidak. Semua orang pasti memiliki masalah. Jika ada orang yang merasa tidak punya masalah pun, itulah masalahnya. Lagipula, seperti yang ada di dalam Al-Qur’an, Allah tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya. So, kamu pasti mampu mengatasi masalah yang mendatangimu. Dan sekali lagi, memecahkan masalah itu berada di dalam kuasa manusia.
Dan masih banyak lagi anggapan lainnya.
So, bila kamu merasa sulit untuk move on, bisa jadi karena kamu salah presepsi. Bisa jadi karena kamu menganggap hal itu adalah takdir (Qodho) -sehingga terus senantiasa menunggu sebuah keajaiban datang, padahal nyatanya itu termasuk ke dalam ruang lingkup yang bisa kita kuasai.
Itu hanya analisa saya.
Bila ada yang kurang setuju, bagi saya tidak masalah. Apalagi yang sangat setuju, bagi saya sangat tidak masalahJ.
Saya juga menerima masukan dan kritikan, bagi saya itu sesuatu yang berharga untuk perbaikan ke depannya.

Terima kasih sudah membaca.
Semoga bermanfaat ^_^


Proaktif vs Reaktif


Stimulus;
Atau tekanan dari pihak luar,
Dapat berupa ucapan;
Bahkan berupa cacican dan hinaan,
Dapat juga berupa keadaan;
Situasi buruk;
Situas genting;
Situasi mendesak,
Atau apalah, tergantung kamu menyebutnya apa.
Sebenarnya kita tidak perlu rumit dan berpusing ria demi sekedar menafsirkan hakikat makna kata ‘stimulus’. Cukup artinya, suatu hal berupa tekanan yang datang dari luar diri kita sendiri. Tekanan dari luar itu bisa berupa perkataan, perbuatan, atau suatu keadaan.
Tentang si ‘stimulus’, dia sama sekali tidak bisa kita kendalikan. Mengapa? Karena ‘stimulus’ datang dari pihak luar, sehingga kita sama sekali tidak mampu mengendalikannya. Yang bisa kita kendalikan adalah respon; bagaimana kita merespon si ‘stimulus’ ini. Apakah kita akan menjadi sosok yang ‘proaktif’ ataukah ‘reaktif’?
Apa itu reaktif dan proaktif?
Proaktif adalah antonim dari proaktif. Untuk lebih jelasnya, coba simak penjelasan di bawha ini;
Bagi kamu-kamu yang merespon si ‘stimulus’ dengan spontan, penuh emosi, tanpa pertimbangan yang matang, artinya dirimu adalah sosok yang ‘reaktif’. Dan tahukah kamu? Menjadi sosok yang reaktif ini begitu mudah. Dan saya yakin, kita semua sudah sangat terlatih untuk menjadi sosok yang reaktif. Bagaimana tidak? Seperti inilah kita dulu, sebagai anak kecil atau bahkan sebagai seorang bayi merespon.
Kemudian bagi kamu-kamu yang merespon si ‘stimulus’ tidak dengan secara spontan, penuh pertimbangan, dan tanpa dasar emosi, artinya dirimu adalah sosok yang ‘proaktif’. Berbeda dengan sosok reaktif, menjadi sosok yang proaktif adalah hal yang tidak mudah. Kita harus mampu mengalahkan perasaan ego dan emosi kita, yang sewaktu-waktu dapat bangkit di kala si ‘stimulus’ ini berulah. Kemudian memikirkan respon terbaik yang bisa kita lakukan. Dan tentunya, kita belum tentu terbiasa menjadi sosok yang reaktif. Fikirkan saja, apakah ada bayi atau anak kecil yang proaktif? J
Simple bukan? Yaaa, begitulah.
Dengan membaca penjelasan di atas, kamu pasti dapat menilai mana yang baik dan mana yang tidak. Sekaligus, kamu tinggal memilih, apakah mau menjadi soosk yang proaktif ataukah menjadi sosok yang reaktif.
Itu semua pilhanmu.
Ohya, saya beri tahu rahasia nih sobat. Bila kamu ingin menjadi sosok yang sukses, menjadi sosok yang proaktif adalah tahap pertama yang harus kamu lalui. Yaps, tahap pertama untuk mejadi mandiri. Tahap pertama dari tujuh tahap yang ada.
Penasaran dengan tahap-tahap selanutnya?
Simak terus baik-baik ya..

Terima kasih telah membaca dan semoga bermanfaat ^_^

Belajar dari Ikan Salmon


Apakah sobat kenal dengan ikan yang satu ini? Baiklah, saya rasa kita harus mengintip profil ikan salmon terlebih dahulu. Setuju? Cekidot...
Ohya sebelumnya, sobat jangan membayangkan ikan Salmon seperti hiu yang mengerikan, atau piranha yang super rakus, atau paus yang besarnya sangat luar biasa. Sobat juga jangan membayangkan ikan Salmon itu ikan milik saya, mentang-mentang nama saya Salma (lho??).
Ikan Salmon menurut saya adalah ikan yang super unik. Mengapa? Dalam siklus hidupnya, ikan Salmon hidup di dua jenis air, yakni air asin dan air tawar. Penasaran? Yuk Ikuti lebih lanjut..
Bagi ikan Salmon, sungai adalah tempat kelahiran dan tempat mereka kembali kepada Yang Maha Pencipta. Sebagai sosok yatim piatu, telur ikan Salmon menetas di antara tumpukan kerikil dasar sungai. Bahkan, dari seluruh jumlah telur yang ada, hanya sekitar setengahnya yang berhasil menetas. Miris sekali bukan? Namun begitulah kenyataannya. Salmon kecil akan terus hidup di antara tumpukan kerikil, dengan memakan plankton yang tersedia. Setelah 6-7 bulan menjalani hidup di antara tumpukan kerikil, ikan Salmon kecil mulai keluar ke dasar sungai.

Setelah sukses beradaptasi dengan lingkungan, ikan Salmon balita mulai menempuh petualangannya menuju laut lepas. Dan luar biasanya, perjalanan yang harus Salmon balita tempuh mencapai ribuan kilometer! Subhanallah, bisa dibayangkan bukan, begitu besar panjang perjalanan yang harus mereka tempuh.
Belum cukup sampai di sana. Ketika ikan Salmon remaja sukses menempuh perjalanan, mereka harus kuat menghadapi kerasnya kehidupan. Ribuan macam predator senantiasa mengintai mereka. Ada anjing laut sebagai ancaman terbesar, kemudian singa laut, beruang, burung, bahkan manusia.



Setelah di laut selama 4-7 tahun, ikan Salmon dewasa harus kembali ke sungai, persis di mana dulu mereka menetas. Biasanya ikan Salmon yang sudah siap berkembang biak akan membuat sebuah koloni untuk bersama-sama ke sungai. Bayangkan saja, mereka harus kembali menempuh perjalanan ribuan kilometer. Melawan arus sungai yang seringkali deras. Melompati banyak undakan-undakan bebatuan dan juga air terjun. Melewati dam-dam pembangkit listrik tenaga air. Belum lagi di sana terdapat banyak beruang lapar yang menanti. Dan bayangkan sobat, mereka harus melalui perjalanan panjang itu dalam keadaan berpuasa, alias sama sekali tidak makan. Wajar saja, jika selama perjalanan berat tubuh mereka bisa menurun hingga sepertiga dari seluruh berat semula.
Dalam perjalanan panjang ini, banyak sekali ikan Salmon yang mengalami luka sayatan di sekujur tubuhnya. Bahkan banyak juga di antara mereka yang mati di tengah perjalanan, di tengah perjuangan. Entah itu karena kehabisan energi, dimangsa predator, atau gagal dalam menaklukan arus dan air terjun.
Beberapa hari setelah induk ikan Salmon menunggui lubang telurnya, mereka akan mati begitu saja. Wajar saja bukan? Setelah menempuh perjalanan panjang yang mematikan tanpa sepeser pun makanan, tentu energi yang mereka miliki lama-kelamaan akan habis.
Begitulah ikan Salmon mengukir kisah siklus hidup yang mengharukan. Dilahirkan sebagai yatim piatu. Ditakdirkan untuk berjuang menghadapi rintangan hidup di usia dini, ‘sendirian’ tanpa orang tua. Ditakdirkan untuk menghindari ribuan predator yang mengerikan. Juga ditakdirkan untuk ‘pulang’ ke tempat asalanya, meski itu artinya kembali menalami kisah perjuangannya di beberapa tahun silam, bahkan lebih berat dari itu. Karena untuk perjuangan kali ini, mereka tidak cukup sekedar mengikuti ‘arus’ yang ada, namun harus melawannya. Dan dengan melakukan perjuangan yang satu ini, itu sama saja artinya mereka meninggalkan lautan samudera yang menjanjikan keindahan, untuk selamanya. Dalam rangka menjemput kematian yang hadir di depan mata.
Ikan Salmon mengjarkan pada kita bahwa hidup adalah perjuangan; diawali dengan perjuangan, dihiasi dengan perjuangan dan ditutup dengan perjuangan. Meski perjuangan itu harus berujung kepada kematian dan kembali kepada-Nya. Perjuangan dalam rangka menggapai tujuan yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Pencipta. Sobat tentu ingat firman-Nya dalam Al-Qur’an,
“Dan tidaklah Aku menciptakan manusia dan jinn selain untuk beribadah kepada-Ku”.
Yups, betul sekali. Kita sebagai manusia diciptakan oleh-Nya sebagai hamba. Dan jelas, bahwa kita diciptakan di bumi ini untuk beribadah kepada-Nya. Tapi yang perlu digarisbawahi di sini sobat, tentu beribadah yang dimaksud di sini tidak sebatas melakukan ibadah ritual; seperti sholat, dzikir, puasa, haji dan lain sebagainya. Ibadah-ibadah ritual tersebut hakikatnya hanyalah sebagian kecil dari beribadah yang dimaksud. Karena beribadah yang dimaksud di sini bermakna luas, yakni menjalankan seluruh apa yang diperintahkannya dan menjauhi seluruh apa yang dilarangnya.
Yakninlah kita bisa melakukannya, meski satu tahap demi satu tahap. Tentu, kita tidak mau kan kalah dengan sosok ikan Salmon? J
Ikan Salmon juga mengajarkan kepada kita bahwa hidup itu membutuhkan pengorbanan. Bayangkan saja bila ikan Salmon menjadi egois, enggan kembali ke sungai untuk bereproduksi. Tentu yang akan terjadi adalah kepunahan, bukankah begitu? Bila sudah terjadi kepunahan, bukan saja kalangan ikan Salmon yang mengalami kerugian, namun juga hewan lainnya. Karena kepunahan satu mata rantai makanan dapat merusak ekosistem yang ada. Saya yakin lah, sobat pasti sudah faham dengan konsep ini.
Lantas mengapa masih banyak manusia yang enggan untuk peduli dan memilih menjadi egois? Mengapa masih banyak manusia yang lebih mementingakan kepentingan pribadi? Mengapa banyak manusia yang enggan menjadi sosok yang bermanfaat bagi masyarakat, bagi manusia lainnya? Di mana akal yang telah Allah anugerahkan? Apakah masih banyak manusia yang lebih buruk dari ikan Salmon yang tidak berakal?
Mari kita kembali ingat firman Allah dalam Al-Qur’an,
“dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S al-A’raf:179)
Apakah dirimu telah benar-benar berjuang di jalan-Nya? Apakah perjuanganmu sudah lebih berat dari perjuangan ikan salmon? Apakah dalam perjuanganmu nyawa sudah menjadi taruhan yang pasti?
Sebesar apakah pengorbanan yang telah engkau lakukan, setidaknya untuk keuarga dan orang-orang yang ada di sekitarmu? Apakah kiranya dalam dirimu sudah ada rasa peduli, atau malah didominasi oleh egois? Apakah dirimu sudah bermanfaat bagi yang lain?
Semoga hal ini bisa menjadi renungan kita bersama.

Terimakasih sudah membaca J

Selasa, 13 Januari 2015

Menghindari Penyesalan: Think Before Act



Penyesalan.
Selalu datang di akhir. Membawa sebuah luka. Membuat yang didatanginya menginginkan waktu kembali berputar. Dan sudah terbukti, dia akan datang tanpa meminta permisi terlebih dulu kepada siapa pun yang hendak didatanginya. Dan apabila dia telah hadir, maka tidak ada seorang pun yang mampu menolak kehadirannnya.

Sebelum kita bahas lebih dalam lagi terkait hal yang satu ini, saya teringat kisah penyesalan salah seorang arsitek. Saya fikir, kisah ini termasuk salah satu kisah yang cukup masyhur. Mungkin terdapat beberapa perbedaan aktor dan sebagainya dalam kisah ini. Namun yang terpenting di sini ialah alur dari kisah tersebut. Langsung saja..





Suatu masa, hiduplah seorang arsitek.
Arsitek yang yang satu ini terkenal dengan sikapnya yang senang bekerja keras. Apabila dihadapkannya sebuah kerjaan (proyek), maka ia akan mengerjakannya dengan sigap dan tanggap, dan tentunya sebaik mungkin. Dia  tidak pernah mengeluh, apalagi melalaikan proyek yang telah diterimanya. Alhasil, dia mencetak rekor sebagai seorang arsitek yang selalu tepat waktu dalam menjalani tugasnya, juga senantiasa melakukan apa yang telah diperintahkan kepadanya dengan sebaik mungkin.
Hal ini tentu membuatnya begitu istimewa di hadapan sang bos. Sang bos meminta rekan-rekannya untuk meneladani sikapnya yang senang bekerja keras. Sang bos juga tidak jarang memberinya beberapa uang tips karena sikapnya itu.
Hingga pada suatu saat, tibalah masanya sang arsitek akan menghadapi waktu-waktu pensiun. Telah dibayangkannya waktu dimana ia mampu bersenang-senang bersama keluarga tanpa adanya lagi proyek-proyek pembangunan yang menghantuinya. Telah diimpikannya sebuah waktu dimana ia bisa terus-menerus beristirahat sambil menikmati angin sepoi-sepoi dan jingganya sinar matahari yang hendak terbenam. Dan masih banyak lagi impian yang hendak diwujudkannya selepas setelah ia memasuki masa pensiun. Hal itu membuatnya tidak sabar lagi mengalami masa pensiun.
Namun sebelum melepas kepergiannya, sang bos secara khusus memberikannya satu kali lagi proyek sebagai penutup masa kerjanya. Ia diminta membangun sebuah rumah yang luasnya, konsepnya, hingga hal-hal semacamnya; dialah yang menentukan. Sedangkan sang bos akan memberinya dana, berapa pun itu. Menurut sang bos, proyek itu adalah sebuah proyek istimewa untuknya.
Tapi sayang, bayang-bayang akan indahnya masa dimana ia akan pensiun membuatnya lupa akan sikapnya yang istimewa. Ia lupa akan dirinya yang senantiasa bekerja keras. Ia lupa akan dirinya yang selalu melakukan segala hal dengan sebaik apapun yang ia bisa. Ia lupa akan sikapnya yang terus-menerus dibanggakan sang bos, sehingga sang bos meminta rekan-rekannya untuk meneladani sikapnya tersebut, yang dengan itu pula sang bos terus-menerus dan tidak jarang memberinya beberapa uang tips. Bayangan masa pensiun telah membuatnya buta akan sosok dirinya sendiri.
Karenanya, ia enggan membuat proyek –yang menurut sang bos istimewa- menjadi istimewa. Semuanya serba pas-pasan dan serba seadanya. Bahkan apabila diperhatikan lebih jauh lagi, proyek kali ini merupakan seburuk-buruknya proyek yang telah ia kerjakan selama ia bekerja.
Pada proyek kali ini, ia fikir, apapun yang ia lakukan tidak akan pernah membuatnya rugi. Dan ia fikir, pada proyek kali ini, apapun yang ia laukukan tidak akan pernah membuatnya beruntung. Everything is okay.
Namun kenyataan membuktikan bahwa angapannya salah. Bahkan nyaris salah 100%. Sang bos yang baik hati menyatakan proyek tersebut merupakan proyek yang istimewa karena hasil dari proyek tersebut merupakan tempat tinggal untuknya di masa pensiunnya nanti. Istimewa karena seperti apapun rumah yang diinginkannya, maka sang bos dengan tangan terbuka akan membiayai segalanya. Sang bos menyerahkan segalanya padanya; mulai dari rancangan dasar hingga hal-hal sepele. Namun dengan catatan, sang bos tidak memberitahukannya terlebih dahulu; agar semuanya menjadi kejutan yang lebih mengejutkan.
Maka apa boleh buat.
Rumah yang dirancangnya dengan serba seadanya dan serba pas-pasan akan menjadi tempat tinggalnya selama ia pensiun nanti. Penyesalan pun akhirnya tiba. Peyesalan yang tidak pernah ia undang. Penyesalan yang tidak pernah ia persilahkan uantuk hadir pun akhirnya juga tiba. Penyesalan yang menyisakan sebuah sakit dan luka. Penyesalan yang terus menghantuinya. Penyesalan yang membuatnya terus-menerus berandai-andai; “Andaikan waktu bisa diputar. Aku akan mengerjakan proyek tersebut sebaik mungkin. Tidak seperti apa yang telah aku lakukan sekarang.”
Bayangkan apabila engkau adalah sang arsitek..
Masa pensiun bagimu ialah masa dimana engkau dipanggil oleh-Nya..
Masa kerjamu ialah masa pengabdianmu kepada-Nya.
Dan bosmu ialah Tuahnmu.


Mungkin apa yang telah saya kisahkan sebelumnya tidak sama persis dengan apa yang telah diceritakan oleh banyak orang. Namun yang akan saya garis bawahi ialah alur dari kisah tersebut. Dimana sang arsitek melakukan apa yang mebuatnya menjadi begitu menyesal. Dan bisa diperhatikan lebih detail lagi, dalam kisah tersebut, saya tidak pernah menyebutkan kata ‘penyesalan’ maupun anak-cucunya pada awal maupun tengah cerita. Saya amneyebutkan kata tersebut hanya pada akhir cerita. Karena apa? Karena penyesalan memang selalu datang di akhir. Begitulah fakta membuktikan.

Mungkin dan pasti, terdapat masih banyak lagi contoh dari penyesalan-penyesalan tersebut. Mulai dari seorang anak kecil yang menyesal ketika melanggar nasihat orang tua, seorang pelajar yang menyesal ketika tidak mengerjakan PR, seorang mahasiswa yang menyesal ketika sering melalaikan skripsinya, seorang pegawai yang menyesal ketika datang terlambat pada rapat, dan masih banyak lagi.

Namun nyatanya, semua itu tidak mampu membuktikan bahwasanya tiada orang yang mampu menghindari kehadirannya. Masih ada sebagian orang yang mereka itu mampu menolak kehadirannya. Siapakah mereka itu..?

Mereka itulah orang yang senantiasa berfikir sebelum bertindak. Juga mempertimbangkan segala tindakan yang hendak dilakukannya; apakah itu sesuai hukum syara ataukah tidak, apakah itu akan mendatangkan pahala ataukah dosa baginya, apakah itu akan memberikannya manfaat ataukan mudharat (kerugian) baginya, apakah itu akan merugikan orang di sekitarnya ataukah tidak, apakah itu akan memberikan efek samping yang positif ataukah negatif di masa yang akan datang.

Apabila kita telah memikirkan apa yang akan kita lakukan secara matang, insyaAllah hal itu akan meminimalisir datangnya penyesalan. Maka point-point yang perlu kita perhatikan di sini ialah:
1.      Apakah yang kita lakukan semata-mata untuk pengabdian kepada-Nya (Yang Maha Pencipta) ataukah semata-mata hanya untuk kesenangan duniawi yang sifatnya fana, juga hal-hal yang merupakan keturunannya.
2.      Apakah yang kita lakukan itu sesuai dengan hukum syara ataukah malah melanggar hukum syara.
3.      Apakah yang kita lakukan akan memberikan dampak yang positif bagi kita ataukah malah memberikan dampak yang negatif; baik itu dilihat dari waktu jangka pendek maupun jangka panjang.
4.      Apakah itu akan menguntungkan orang lain ataukah malah merugikan juga mencelakai ataupun menyakiti orang lain; baik itu dilihat dari waktu jangka pendek maupun jangka panjang.
5.      Apakah apabila kita malakukan itu akan malah membuahkan sebuah masalah baru ataukah tidak.

Nah, dengan berfikir serta mempertimbangkan banyak hal sebelum melakukan sesuatu, maka insyaAllah hal itu akan menjauhkan kita dari kata penyesalan. InsyaAllah, hal itu akan meminimalisir datangnya penyesalan yang biasa datang tanpa permisi.

Namun ingat, manusia hanyalah manusia yang memiliki keterbatasan. Tidak semua hal yang manusia harapkan akan otomatis menjadi kenyataan. Mungkin manusia mampu menghindari datangnya penyesalan. Mungkin, manusia mampu meminimalisir kemungkinan datangnya penyesalan. Namun tetap saja pada faktanya, ada kenyataan di mana terjadilah sebuah fenomena yang sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh faktor manusia, dan mungkin saja pada fenomena tersebut muncul sebuah penyesalan. Seperti siapakah keluarga kita, seperti apakah bentuk wajah dan tubuh kita, sampai umur berapakah kita akan hidup, dan lain semacamnya.

Sebagai contoh, seorang anak yang lahir dalam keadaan cacat fisik. Ia menyesali kelahirannya. Ia menyesal telah lahir dari rahim ibunya. Ia berfikir, “aku menyesal terlahir di dunia ini. Andai saja waktu bisa diputar, aku akan memilih untuk tidak lahir di dunia ini karena aku tahu apabila aku lahir maka aku akan terlahir dalam keadaan cacat”. Atau, “aku menyesal terlahir dari rahim ibuku itu. Andai saja aku bisa memilih, aku tidak akan memilih lahir dari rahim ibuku itu. Aku akan mencari ibu yang lain sehingga aku tidak dilahirkan dengan kondisi yang cacat seperti sekarang, namun dalam kondisi normal.”

Itulah contoh kasus wilayah di luar kekuasaan manusia, yang tidak boleh kita sesali. Itulah yang seiring kita sebut sebagai qodlo. Baik maupun buruknya, kita wajib mengimani itu. Maka untuk perkara-perkara yang dia itu termasuk qodlo, maka kita tidak boleh menyesalinya. Kita harus menerimanya, baik ataupun buruk; karena itulah qodlo (keputusan dari Allah yang sama sekali tidak bisa kita hindari apalagi kita tinggalkan).

Maka akhir kata,
Kita harus bisa membedakan kondisi di mana memang benar-benar kita boleh menyesal ataukah tidak. Dan dalam perkara yang ada dalam wilayah kekuasaan kita, kita harus bisa sebaik mungkin menghindari atau meminimalisir datangnya penyesalan, yakni dengan berfikir sebelum bertindak. Dan apabila memang tiba saatnya di mana memang penyesalan sudah benar-benar datang, maka kita tidak boleh terus terlarut dalam penyesalan itu. Lupakan apa yang telah kita lakukan di masa lalu, namun jangan pernah melupakan pelajaran yang bisa kita ambil darinya. Gunakan itu di hari esok. Dan jangan pernah membiarkan diri kita kembali terjerumus ke dalam penyesalan yang sama.


Penyeslan memang tidak bisa ditolak kedatangannya...
Namun berbahagialah apabila engkau kini masih menyesal...
Daripada engkau kini bersalah dan tidak menyesal...

Dan berbahagialah apabila engkau kini menyesal dan sadar..

Daripada di hari akhir nanti engkau baru menyesal...[sns]


(HR. ad-Dailani)

Minggu, 11 Januari 2015

Kisah di Balik Sebuah Cangkir



Cangkir. Dengannya kita bisa meminum secangkir air. Dengannya kita bisa meneguk secangkir kopi, secangkir teh, secangkir susu, secangkir jahe dan masih banyak lagi. Keberadaanya bukanlah suatu hal yang asing bagi kita. Baik itu di rumah, di kantor, di restoran, bahkan di sebuah rumah sakit pun kita bisa menjumpainya.

Hal itu membuktikan bahwasanya cangkir sangatlah bermanfaat bagi kita sebagai manusia. Tanpanya, mungkin kita tidak akan mungkin bisa meminum apapun sebagaimana kita meminum di hari ini. Tanpanya, mungkin kita akan meminum sesuatu menggunakan batok kelapa, pelepah pisang, dedaunan yang dibentuk sedemikian rupa, bahkan hanya menggunakan tangan atau malah menggunakan mulut sebagaimana beberapa hewan mamalia melakukannya.

Tragis..

Itu apabila kita berandai-andai..

Maka dapat disimpulkan, bahwa cangkir memiliki peran penting dalam kehidupan kita. Tanpanya, mungkin banyak sekali hal yang tidak bisa kita perbuat layaknya sekarang. Namun peran penting cangkir ini sering sekali kita lupakan. Kita sering kali acuh tak acuh dan tidak peduli akan hal-hal remeh yang sebenarnya tidak bisa kita anggap remeh. Kita sering kali melupakan hal-hal penting yang berada di sekitar kita dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna.

Namun pada tulisan kali ini, saya tidak akan membahas lebih jauh lagi terkait hal-hal penting yang sering kali dilupakan. Di sini, saya akan lebih dalam lagi membahas pelajaran yang bisa kita ambil dari sebuah cangkir. Mungkin nilainya tidak seberapa, namun tidak ada salahnya apabila kita tetap membahasnya. Dan yang terpenting, agar kita tidak melupakan hal-hal yang remeh.


Alkisah, sebelum si tuan cangkir benar-benar menjadi cangkir, ia hanyalah sebuah tanah tidak berdaya, layaknya milyaran juta hamparan tanah yang ada di bumi ini. Dia diinjak-injak dan seolah-olah tidak berdaya. Tidak ada yang pernah menganggapnya, dan siapapun yang melewatinya akan lewat begitu saja. Juga, tidak ada yang pantas membuatnya istimewa di mata kebanyakan orang.
Namun dari sanalah cangkir berasal. Dia diambil, kemudian dipilah; manakah diantara milyaran juta hamparan tanah yang layak dijadikan sebuah cangkir.
Tidak cukup sampai situ, setelah dia berhasil melewati proses penyeleksian, dia dibentuk sedemikian rupa sebagaimana yang betuk yang diinginkan. Sulit? Itu pasti. Mencetak sebuah bentuk tertentu dari seonggok tanah yang sebelumnya sama sekali tidak memiliki bentuk apapun adalah sesuatu yang tidak mudah.
Tidak cukup di situ. Dia harus dijemur di bawah panasnya trik matahari selama beberapa hari, tanpa ada istirahat barang satu hari pun hingga saatnya telah usai. Di masa ini, terkadang salah satu bagian tubuhnya mengalami retak sehingga mengharuskannya kembali melewati masa pembentukan, atau menjalani masa perbaikan (rehabilitasi). Begitu terus berulang kali hingga ia mampu melewati target yang sedari tadi telah menantinya.
Kemudian dia harus dibakar di atas api yang suhunya begitu panas sehingga membuatnya berubah warna menjadi hitam legam (karena gosong). Begitu sulit, dan bahkanharus melewati lebih dari satu kali proses pembakaran. Tergantung sejauh mana capaian yang berhasil diraih olehnya.
Belum usai proses yang harus dilewati olehnya. Dia harus melewati proses finishing, dimana ia dipoles secantik mungkin sebagaimana yang telah diinginkan. Dan kemudian kembali dijemur di bawah panasnya terik matahari untuk beberapa saat, hingga ia berhasil dikatakan ‘layak’.
Maka baru dari situ, lahirlah sang tuan cangkir.


Begitulah deskripsi kasar proses pembuatan cangkir. Disini, bukan ‘bagaimana dia dibakar’ yang akan lebih saya tekankan. Namun yang perlu kita perhatikan di sini, seonggok tanah untuk benar-benar menjadi sebuah cangkir memerlukan sebuah proses yang begitu panjang dan tentunya tidak mudah. Maka apabila sebuah cangkir saja memerlukan waktu yang lama serta proses yang panjang untuk memperolehnya, apalagi kita; yang ingin menjadi sosok gengerasi terbaik yang mampu memimpin umat islam di era yang aka datang nanti..? Pasti membutuhkan waktu yang lebih lama, serta proses yang lebih panjang, lebih rumit dan tentunya lebih sulit. Benar atau benar banget?

Nah, dari penjabaran yang sudah sangat panjang-lebar (kali tinggi), saya ingin mengatakan; apabila kita ingin menjadi sosok generasi yang terbaik, maka kita harus pula rela dalam menghadapi lelahnya proses serta bersabar dan istiqomah dalam menggapainya. Saya sadari, hal itu memanglah sesuatu yang sulit. Namun proses yang istimewa­-lah yang akan mebuat kita begitu istimewa. Kita tidak akan mendapatkan sesuatu yang istimewa apabila tidak mampu melewati sesuatu yang istimewa pula. Dan jerih payah, segala kelelahan, cobaan, rintangan, dan semacamnya lah yang dimaksud dengan istimewa itu.
Maka sebagai calon generasi terbaik, sudah seharusnya kita mampu bersabar, istiqomah, serta terus berjuang menghadapi segala rintangan yang akan menghantarkan kita sebagai sesuatu yang istimewa. Lelah, kecewa, putus asa, jenuh, dan lainnya adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Namun jangan pernah membiarkan diri kita terus-menerus menggelayut di dalamnya.

Kita harus bangkit dan bergerak. Berani menghadapi segala resiko serta ancaman yang akan menghadang. Mengadu kepada-Nya akan segala masalah yang kita hadapi adalah sesuatu yang tidak masalah. Namun seorang generasi terbaik akan berani mengatakan kepada segala masalah yang ia hadapi bahwa ia memiliki Allah yang senantiasa menolongnya, serta membimbingnya untuk meraih rido-Nya.

Jangan pernah menjadi sosok yang lebih lemah dari sebuah cangkir. Camkan itu.. [sns]


Sabtu, 01 November 2014

Mendaki gunung: Apa motivasiku??

           

Mendaki gunung..

Salah satu jenis olahraga yang dapat dibilang extreme dan mahal. Namun hakikatnya, banyak juga orang yang memilih untuk tetap melakukannya, termasuk saya yang notabenenya termasuk pemula.

Kira-kira, apa alasan mereka yang rela lelah untuk mendaki?

Apa motivasi yang mereka miliki ketika mendaki?




Mungkin atau pasti, setiap pendaki memiliki motivasi dan alasan yang berbeda-beda.

Dan berikut adalah beberapa motivasi yang saya miliki dalam mendaki gunung. selamat membaca, dan semoga bermanfaat..


1.      Gunung = tempat mempelajari ilmu terkait hewan dan tenaman yang efektif

Saya yang dari kecil dibiasakan untuk mencintai hewan dan tumbuhan mejadikan saya menaruh minat terhadapnya. Saya mulai berfikir untuk senantiasa menguasai ilmu yang terkandung di dalamnya. Dan saya sadari, untuk mampu menguasai ilmu tersebut, tidaklah dikatakan cukup apabila saya hanya berkecimpung di antara berbagai teks hasil penelitian para ilmuwan terkait itu atau pun hanya mendengarkan penjelasan teoritis dari sang guru di kelas. Saya harus mengindra objek tersebut secara langsung, seiringan dengan teori yang didapatkan. Maka bagi saya, dengan mendaki gunung, saya mampu mendapatkan ilmu botani dan zoologi yang tersedia di sana.
Mungkin untuk pendakian perdana, hal itu belum begitu direncanakan. Namun harapan saya, ini bukanlah pendakian perdana dan terakhir yang saya miliki. Saya berharap, masih ada kesempatan berikutnya di mana ada perencanaan yang sistematis dalam rangka mempelajari objek yang ada di sana.
Namun walaupun begitu, saya harap di pendakian perdana ini saya mampu mendapatkan beberapa ilmu botani dan zoologi yang tersedia. Karena gunung merupakan tempat yang masih dipadati oleh tumbuhan dan hewan yang tidak akan ditemukan di perkotaan, dan itu sangat efektif bagi pembelajaran botani an zoologi.


2.     Gunung = melatih kemampuan kerjasama.

Sebagai manusia, hakikatnya saya tentu akan hidup di tengah-tengah masyarakat dan kelmpok. Dan pada hakikatnya, hidup bermasyarakat bukanlah sesuatu yang dapat dibilang mudah. Pada beberapa kesempatan contohnya, seorang manusia diminta untuk saling menolong, bekerjasama,  mengutamakan saudaranya (semuslim), merendahkan ego yang dimiliki, berkorban untuk saudaranya dan masih banyak lagi.  Dalam hidup bermasyarakat, seorang harus memiliki kemampuan itu.
Di dalam pendakian, hal itu pun menjadi suatu hal yang harus dimiliki. Maka, saya memahami mendaki gunung merupakan medan untuk melatih kemampuan kerjasama dalam bermasyarakat, atau dalam pendakian kali ini lebih sesuai disebut dengan “kerjasama kelompok”. Karena saya tahu kerjasama itu kemampuan yang penting dimiliki, saya berharap mampu melatihnya pada kegiatan ini.

3.     Gunung = menyimpan berjuta pengalaman

Saya yakin, mendaki gunung merupakan suatu pengalaman yang berharga. Suku duka yang terkandung di dalamnya bukanlah suatu hal yang tiada berguna. Saya berharap saya mampu belajar dari pengalaman yang saya miliki dari pendakian ini. Karena yang saya tahu, semakin banyak pengalaman yang dimiliki oleh seseorang, maka semaikin baik pula kualitasnya.
Dan harapannya, pengalaman yang saya miliki tidak hanya menjadi guru bagi saya. Saya juga ingin membagikan pengalaman yang saya miliki melalui dunia tulis-menulis. Maka saya harap, pengalaman kali ini dapat menjadi tema penulisan yang sangat berharga.


4.     Gunung = melatih kemampuan memecahkan masalah

Berinteraksi dengan alam tentu bukanlah sesuatu yang tidak beresiko. Kemungkinan-kemungkinan berbahaya dapat datang kapanpun, walau memang dapat dihindari. Namun hal ini lah yang saya cari. Kemampuan memecahkan masalah merupakan hal yang begitu dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Dan gunung merupakan salah satu medan yang pas dalam melatih kemampuan memecahkan masalah. 


5.     Gunung = zona untuk membuktikan bahwa saya bukanlah seorang penakut dan lemah.

 

Catatan si Pengelana Template by Ipietoon Cute Blog Design