Selasa, 03 Mei 2016

Sejarah Pembukuan Hadits Nabi*



Ketika Kaum Muslimin menetap di Kota Madinah al-Munawwarah, Rasulullah SAW memerintahkan para pemuda untuk belajar membaca dan menulis di Masjid lingkungan mereka tinggal. Pada saat itu terdapat 9 bangunan Masjid di Madinah. Para penulis pun menaruh pehatian besar terhadap perintah pertama, yakni menulis al-Qur’an, yang mana telah mengambil sebagian besar waktu mereka.
Sementara hadits Rasulullah itu sangatlah banyak, bahkan tidak terbatas. Dalam setiap peristiwa, terdapat hadits Rasul. Dalam mayoritas ayat al-Qur’an, terdapat hadits Rasul berupa penjelasan dan tafsir. Di samping itu, para penulis tidak lagi memiliki waktu untuk mencatat semua yang Rasul katakan, kerjakan, ataupun yang beliau tetapkan.
Selain itu, di masa awal turunnya wahyu, Rasulullah sangat melarang pencatatan hadits. Hal itu dilakukan agar hadits Rasul tidak tercampur dengan al-Qur’an al-Karim. Kemudian setelah itu, Rasul mengizinkan beberapa Sahabat untuk menulis hadits, sehingga catatan itu mampu membantu proses menghafal. Mayoritas penulis hadits mencatat apa yang mereka kumpulkan pada tahun-tahun terakhir di masa Rasulullah hidup.
Dalam masa kenabian, salah satu kumpulan hadits yang terkenal ialah Ash-Shahiifah Ash-Shadiiqoh yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin Ash. Kumpulan hadits tersebut berhasil menghimpun 1000 hadits. Begitupula halnya kumpulan hadits yang ditulis oleh Abdullah bin Abbas. Beliau menulis sunnah dan sirah Rasul dalam jumlah banyak, di atas papan-papan yang biasanya beliau bawa ketika berada di majelis ilmu.
Di masa khulafaa ar-raasyidiin, Abu Bakar r.a memerintahkan pengumpulan al-Qur’an. Sementara Utsman bin Affan menaruh perhatian penting terhadap penyalinan al-Qur’an, juga distribusi al-Qur’an ke seluruh penjuru negara islam. Sehingga pada masa itu orang-orang tersibukan dengan al-Qur’an dan belum sempat mencatat hadits. Sampai akhir abad pertama, para tabi’in pun masih sulit melakukan pencatatan as-sunnah.
Hal itu terus menerus berlangsung, hingga datang masanya Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau secara resmi memerintahkan pembukuan hadits, dan mewajibkan hal tersebut kepada para wali di seluruh penjuru negara islam. Hal itu dilakukannya karena khawatir kehilangan para ulama, juga khawatir tersebarnya hadits yang tidak shahih.
Salah satu kitab hadits terkenal yang pertama ialah Muwaththa’, yang ditulis oleh Imam Malik, Imamnya kota Madinah (189 H). Selain itu ada juga kitab Musnad yang ditulis oleh Imam Ahmad bin Hambal (241 H). Akan tetapi pencatatan as-sunnah  per bab baru dimulai pada masa al-Bukhori. Di masa itulah para ulama (al-Bukhori, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majjah dan an-Anasa’i) menyusun enam kitab hadits yang shahih.
Di masa itu, para perawi hadits belum merasa cukup dengan ilmu yang mereka dapatkan dari guru-guru di negeri mereka. Begitupula dengan ilmu yang mereka dapatkan di Madinah al-Munawwarah. Akan tetapi mereka keluar merantau dalam waktu perjalanan yang begitu lama, ke negeri-negeri yang jauh, demi mendapatkan hadits. Mereka pun mampu belajar dari generasi perawi awal.
Untuk memperoleh satu hadits, seorang perawi bahkan harus melakukan perjalanan panjang siang-malam. Di antara mereka bahkan ada yang melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Di antara mereka juga ada yang memulai perjalanan di usia 15 atau 20 tahun, dan senantiasa melakukan perjalanan lebih dari 10 tahun.
Pada abad ke-6 Hijriyah, Nuruddin Muhammad Zanki mendirikan Rumah Hadits yang pertama di Damaskus. Kemudian Malik al-Ayyubi al-Kamil Nasirudiin mendirikan Rumah Hadits di Kairo pada tahun 262 H. Demikianlah, dengannya, kebutuhan akan perjalanan dalam memperoleh hadits pun berkurang.
Meskipun demikian, masih banyak pencari hadits yang senantiasa mengutamakan melakukan perjalanan dan mengelilingi negara. Di dalamnya-lah terdapat pengaruh yang besar terhadap penyatuan nash hadits. Riwayat-riwayat yang ada di dalam kitab-kitab shahih pun serupa dalam masalah pokok, meskipun terdapat beberapa perbedaan yang sedehana. Maka -dapat kita lihat, hasilnya ialah penetapan hukum yang satu.
 

*Terjemahan tulisan di kitab al-Arobiyyah li an-Nasyi’in jilid 5, halaman17-18.

0 comment:

Posting Komentar

Dengan senang hati kami menerima komentar dari para pembaca yang terhormat.
Komentar yang diberikan merupakan sebaik-baiknya masukan untuk blog ini kedepannya.

 

Catatan si Pengelana Template by Ipietoon Cute Blog Design