Minggu, 18 Januari 2015

Hukum Safar Bagi Seorang Wanita



Pada era yang kian modern ini, fenomena wanita yang melakukan sebuah perjalanan (safar) tanpa mahram untuk suatu kepentingan tertentu kian menjamur. Ada yang melakukan suatu perjalanan dalam rangka bisnis, tuntutan pekerjaan, pendidikan, hingga dalam rangka menyebarkan syiar islam. Apalagi dengan adanya perkembangan teknologi transportasi yang semakin modern, kesulitan-kesulitan serta hambatan dalam perjalanan pun semakin bisa diminimalisir sehingga untuk melakukan perjalanan pun semakin mudah. Ada pesawat untuk perjalanan udara. Ada kapal pesiar untuk perjalanan laut. Juga ada kereta, mobil, motor dan sebagainya untuk perjalanan darat. Hal ini membuat fenomena safarnya seorang wanita tanpa mahram semakin marak.
Namun perlu digarisbawahi bahwasanya sebagai seorang muslim, segala macam aspek perbuatan harus dilandasi oleh hukum syara. Dan begitupula kiranya seorang muslim dan muslimah dalam memandang fenomena tersebut, juga dalam menyikapinya.
Islam sendiri merupakan agama rahmatan lil ‘alamin. Rahmatnya meliputi seluruh alam, baik bagi umat muslim maupun umat non-muslim, juga baik bagi kaum adam maupun kaum hawa. Berbeda dengan agama lainnya, islam juga turut memuliakan wanita dan menempatkan wanita pada posisi yang seharusnya. Islam menempatkan wanita sebagaimana kadar potensi wanita itu sendiri. Oleh kerenanya, tulisan ini akan menunjukan salah satu hal yang menjadi perhatian islam dalam rangka memuliakan wanita; yakni hukum safar bagi seorang wanita dalam islam.
Dan sebelum menuju pembahasan yang lebih lanjut, perlu diketahui bahwasanya tulisan ini dibangun atas dasar paradigma yang menyatakan bahwasanya hukum islam merupakan hukum yang memuliakan wanita dan menempatkan wanita pada posisi yang semestinya; bukan hukum yang menindas wanita.

I. Hukum Safarnya Seorang Wanita

A. Pengertian Safar
Safar secara bahasa diambil dari bahasa arabسَفَرَ  yang bermakna terbuka, nampak dan melakukan perjalanan[1], disebut demikian  karena diri seorang musafir akan terbuka dari tempat tinggalnya ke tempat yang terbuka. Serang musafir juga akan terbuka perilaku, akhlaq, dan perangai aslinya, yang selama ini tertutup ketika dia tidak melakukan perjalanan.[2]
Sedangkan secara syariat safar adalah meninggalkan tempat bermukim dengan niat menempuh perjalanan menuju suatu tempat,[3] yang dengan adanya niat safar tersebut mampu merubah suatu hukum dalam islam[4].

B. Hukum Seorang Mahram Bagi Wanita yang Hendak Melakukan Safar.

a. Hukum Asal Safarnya Seorang Wanita

Berkaitan dengan mahram ketika seorang wanita melakukan sebuah safar, Imam Bukhori, Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas r.a, bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda:
لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang wanita melakukan perjalanan kecuali bersama mahram.”(H.R Bukhori, Muslim dan Ahmad)
Hadits ini melarang kaum hawa melakukan perjalanan tanpa didampingi seorang mahram, sekaligus perintah bahwasanya seorang wanita yang melakukan perjalanan harus didampingi oleh seorang mahram. Namun, hadits tersebut tidak menjabarkan secara rinci kondisi dimana dilarangnya seorang wanita melakukan sebuah safar tanpa didampingi oleh seorang mahram. Hadits tersebut tidak menjelaskan ketentuan-ketentuan khusus bagi kasus-kasus khusus. Tidak ada penjelasan khusus mengenai batas waktu maksimal. Tidak ada penjelasan khusus mengenai batas jarak maksimal. Namun apakah itu artinya tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait batas jarak ataupun waktu maksimal seorang wanita ketika melakukan perjalanan tanpa didampingi oleh seorang mahram?
Jawabannya, tidak. Hadits tersebut merupakan hadits mutlak, yang menyatakan bahwasanya haram hukumnya seorang wanita melakukan safar (perjalanan) tanpa didampingi oleh seorang mahram. Namun di samping adanya hadits mutlak, dalam  kasus safarnya seorang wanita terdapat pula hadits muqayyad yang memperinci kasus tersebut. Hadits muqayyad-lah yang akan menjelaskan ketentuan-ketentuan khusus bagi kasus-kasus khusus. Hadits muqayyad-lah yang akan menjelaskan, hal-hal terkait batas jarak maksimal ataupun batas waktu maksimal.
Namun, sebelumnya perlu diketahui, apabila kita mengambil dalil yang menjadikan ‘jarak’ sebagai standar wanita boleh atau tidaknya seorang wanita melakukan safar tanpa didampingi oleh mahram, itu artinya otomatis standar ‘waktu’ tidak akan bisa kita gunakan. Begitu juga sebaliknya. Oleh karenya, untuk menetukan apakah kita akan menjadikan ‘waktu’ ataukah ‘jarak’ sebagai standar, maka kita harus memahami manakah hadits yang lebih rajih.
Maka pertanyaannya, apa batas maksimal yang layak dijadikan standar? Apakah waktu ataukah jarak?

b.      Nash yang Menjadikan Jarak Standar

Berkenaan dengan batas jarak tempuh maksimal, terdapat riwayat Abu Dawud adalah sebagai berikut: Telah meriwayatkan kepada kami Yusuf bin Musa, dari Jarir, dari Suhail, dari Sa’ad bin Abi Sa’ad, dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda:
لَا يَحِلُّ لِاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُوْنَ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ بَارِدًا إِلَّا مَعَ ذيْ مَحْرَمٍ عَلَيْهَا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian satu barid kecuali bersama mahramnya.”(H.R Abu Dawud)
Satu barid dalam konteks ini setara dengan empat fasakh, yang setiap fasakhnya itu setara dengan 22km. Maka, satu barid di sini setara dengan 88-89km.

c.       Nash yang Menjadikan Waktu Standar

Ketika kembali ditelusuri, Abu Dawud juga meriwaytakan hadits yang menyatakan bahwasanya yang menjadi standar boleh atau tidaknya wanita melakukan safar tanpa didampingi oleh seorang mahram adalah jarak. Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah SAW pernah bersabda:
لَا يَحِلُّ لِاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُوْنَ بِاللَّهِ وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيْرَةَ يَوْمٍ أَوْ لَيْلَةٍ إِلَّا مَعَ ذيْ مَحْرَمٍ عَلَيْهَا
 “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian sehari semalam kecuali bersama mahramnya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Bukhori, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad)[5]
Namun apabila dilihat faktanya, tidak semua perawi meriwayatkan hal yang serupa dalam perkara safarnya seorang wanita.
·         Imam Bukhori, Imam Muslim (keduanya dari Abu Sa’id al-Kudzri), Imam Ahmad (dari Ibnu Sa’id), meriwayatkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian dua hari, tiga hari, di atas tiga hari kecuali bersama mahramnya.”
·         Selain itu, Imam Bukhori, dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasaya Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian tiga hari kecuali bersama mahramnya.”
·         Dan ada pula riwayat Imam Muslim (dari Ibnu Umar), at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan ad-Darimi dari Abu Said al-Khudzri bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian tiga hari dan lebih kecuali bersama mahramnya.”

Dari hadits-hadits yang telah dipaparkan sebelumnya, jelas bahwa terdapat perbedaan standar waktu maksimal seorang wanita melakukan safar (perjalanan) tanpa didampingi oleh seorang mahram. Dan dengan menggabungkan beberapa hadits muqayyad tersebut, maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwasanya batas maksimal waktu tempuh seorang wanita melakukan safar tanpa didampingi oleh seorang mahram ialah satu hari satu malam. Hal ini dilakukan guna menggabungkan seluruh hadits muqayyad yang membahas perkara safarnya seorang wanita. Hakikatnya, tidak adanya safar selama dua hari, tiga hari, lebih dari tiga hari, dan seterusnya yang memenuhi waktu safar selama satu malam satu malam. Dan pada faktanya, apabila seseorang melakukan safar selama tiga hari, dua hari, ataupun lebih, maka setidaknya dia telah pasti melakukan safar selama satu hari malam. Dan hal ini juga dilakukan dalam rangka mengambil kehati-hatian.

d.      Waktu ataukah Jarak?

Apabila diteliti kembali, kuantitas perawi yang meriwayatkan ‘hadits yang menjadikan waktu sebagai standar’ lebih banyak, yakni oleh 4 orang perawi. Sedangkan hadits yang menjadikan ‘jarak’ sebagai standar hanya diriwayatkan oleh Abu Dawud seorang diri, dan Abu Dawud sendiri merupakan salah satu perawi yang meriwayatkan hadits yang menjadikan ‘waktu’ sebagai standar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan, dalil yang menjadikan ‘waktu’ sebagai standar merupakan dalil yang lebih rajih.
Itu artinya, standar wanita boleh atau tidaknya seorang wanita melakukan safar tanpa didampingi oleh mahram ialah waktu. Maka, sejauh apapun seorang wanita hendak menempuh perjalanan (tanpa mahram), bahkan hingga ratusan atau ribuan kilometer sekalipun, hal itu boleh-boleh saja apabila waktu yang ditempuh tidak lebih dari satu hari satu malam (24 jam); misalkan karena menggunakan pesawat. Namun boleh di sini sama sekali tidak mengandung makna harus, melainkan sebatas boleh (pilihan untuk melakukannya ataukah tidak).
Sebagai catatan, hukum safar bagi seorang wanita menjadi berbeda apabila kondisi lingkungan sekitar sedang berada dalam kategori tidak aman; seperti ketika sedang dalam masa peperangan, masa pemberontakan, dan lain sebagainya. Apabila hal-hal tersebut sedang terjadi, maka seorang wanita sama sekali tidak boleh bepergian tanpa didampingi oleh seorang mahram, walaupun hanya setengah hari.


C. Kondisi dimana Seorang Wanita Boleh Melakukan Safar Tanpa Didampingi Oleh Seorang Mahram
Pada hukum asalnya, seorang wanita harus didampingi oleh seorang mahram ketika ia hendak melakukan sebuah perjalanan (safar). Namun dalam beberapa kondisi tertentu, seorang wanita diperbolehkan melakukan sebuah safar tanpa didampingi oleh seorang mahram. Berikut ialah kondisi-kondisi khusus, dimana seorang wanita boleh melakukan safar tanpa didampingi oleh seorang mahram:
a.       Ketika seorang wanita melakukan sebuah safar, sedangkan mahramnya wafat di tengah perjalanan (masiroh), sementara dia sudah jauh meninggalkan tempat tinggal asalnya.[6]
b.      Ketika seorang wanita wajib berhijrah.[7] Sebagai contoh, terdapat seorang wanita di sebuah negeri kufur, yang kemudian masuk islam. Seluruh syarat hijrah yang ada telah ia penuhi, kecuali adanya seorang mahram. Namun walaupun begitu, ia tetap diwajibkan untuk berhijrah, walaupun tanpa didampingi oleh seorang mahram.
c.       Ketika seorang wanita melakukan zina (dalam kondisi wanita tersebut belum menikah/ghairu muhshon), sehingga dia dihukum dengan pengasingan (pengusiran), sementara dia tidak mempunyai mahram.[8]
d.      Ketika seorang wanita dijatuhkan sebuah tuduhan oleh seorang hakim, sehingga mengharuskannya untuk datang, sementara dia tidak berada di situ ketika itu.[9] Maka ia boleh pergi menuju tempat tersebut tanpa didampingi oleh seorang mahram (apabila memang ia tidak memiliki seorang mahram)

II. Apa Maslahat dari Diwajibkannya Seorang Wanita Melakukan Safar Bersama Seorang Mahram?


Maslahat dari hukum suatu perkara merupakan salah satu hal yang menarik untuk dibahas. Namun yang perlu menjadi titik penting, hendaknya pembahasan tentang maslahat suatu hukum didahulukan oleh status hukum itu sendiri. Sehingga tidak akan timbul sebuah presepsi yang mengatakan bahwasanya mengamalkan suatu hukum syara adalah karena maslahat dari hukum syara tersebut. Dan terlebih, Allah sendiri telah mengatakan bahwasanya setiap hukum syara pasti terdapat maslahat di dalamnya, baik yang telah manusia ketahui maupun yang tidak dan belum diketahui oleh manusia.
Islam sangat memuliakan seorang wanita. Hal inilah merupakan salah satu bukti islam yang memuliakan kaum hawa. Dengan diwajibkannya seorang wanita melakukan safar bersama seorang mahram, hal itu dapat menghindari hal-hal yang tidak dinginkan menimpa seorang wanita, seperti pelecehan dan semacamnya. Telebih mengingat fakta kondisi lingkungan kini yang marak akan terjadinya kekerasan, pencurian, pelecehan, dan lain sebagainya. Apalagi pada faktanya, kini wanita menjadi sasaran empuk atas terjadinya semua tragedi-tragedi tersebut. –na’udzu billaahi min dzalik-

III.           Kesimpulan

Seorang wanita boleh melakukan perjalanan tanpa didampingi seorang mahram, apabila perjalanan yang ia tempuh tidak menghabiskan waktu lebih dari 24 jam. Dan apabila keadaan lingkungan sedang tidak aman, wanita dianjurkan untuk sama sekali tidak melakukan safar tanpa didampingi seorang mahram. Hal ini membuktikan bahwasanya islam sangat melindungi kaum wanita.



Refrensi
·         al-‘Alim al-Jalil ‘Atha’ bin Khalil Abu Rusythah, Ensiklopedi Jawab Soal Amir Hizbut Tahrir, Al-Azhar Publishing, 2014.
·         Ibnu mandhur, Lisan al-Arab.
·         Lisanul Arab, 6/277, Asy-Syarhul Mumti’, 4/490, Shahih Fiqhus Sunnah, 1/472.
·         Mu’jam Maqayis.
·         Muhsin Baharudin Blog, oleh: Muhsin, 20 Februari 2010.
·         Prof. Dr. Falih bin Muhammad bin Falih ash-Shughair, Safar, Definisi Dan Hukumnya, IslamHouse.com, 2014.
·         Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqh Wanita Edisi Lengkap, 2011.
·         Terjemahan Al-Muntaqa Min Fara`id Al-Fawa`id hal. 44-45.







[1] Mu’jam Maqayis Lughah
[2] Ibnu mandhur, Lisan al-Arab
[3] Lisanul Arab, 6/277, Asy-Syarhul Mumti’, 4/490, Shahih Fiqhus Sunnah, 1/472
[4] Muhsin Baharudin Blog, oleh: Muhsin, 22 Desember 2014
[5] al-‘Alim al-Jalil ‘Atha’ bin Khalil Abu Rusythah, Ensiklopedi Jawab Soal Amir Hizbut Tahrir, Al-Azhar Publishing, 2014.
[6] Terjemahan Al-Muntaqa Min Fara’id Al-Fawaid hal 44-45
[7] Terjemahan Al-Muntaqa Min Fara’id Al-Fawaid hal 44-45
[8] Terjemahan Al-Muntaqa Min Fara’id Al-Fawaid hal 44-45
[9] Terjemahan Al-Muntaqa Min Fara’id Al-Fawaid hal 44-45

0 comment:

Posting Komentar

Dengan senang hati kami menerima komentar dari para pembaca yang terhormat.
Komentar yang diberikan merupakan sebaik-baiknya masukan untuk blog ini kedepannya.

 

Catatan si Pengelana Template by Ipietoon Cute Blog Design