Pada era yang kian modern ini, fenomena wanita
yang melakukan sebuah perjalanan (safar) tanpa mahram untuk suatu kepentingan
tertentu kian menjamur. Ada yang melakukan suatu perjalanan dalam rangka bisnis,
tuntutan pekerjaan, pendidikan, hingga dalam rangka menyebarkan syiar islam. Apalagi
dengan adanya perkembangan teknologi transportasi yang semakin modern, kesulitan-kesulitan
serta hambatan dalam perjalanan pun semakin bisa diminimalisir sehingga untuk melakukan perjalanan pun
semakin mudah. Ada pesawat untuk perjalanan udara. Ada kapal pesiar untuk
perjalanan laut. Juga ada kereta, mobil, motor dan sebagainya untuk perjalanan
darat. Hal ini membuat fenomena safarnya
seorang wanita tanpa mahram semakin marak.
Namun perlu digarisbawahi bahwasanya sebagai seorang
muslim, segala macam aspek perbuatan harus dilandasi oleh hukum syara. Dan
begitupula kiranya seorang muslim dan muslimah dalam
memandang fenomena tersebut, juga dalam menyikapinya.
Islam sendiri merupakan agama rahmatan lil
‘alamin. Rahmatnya meliputi seluruh alam, baik bagi umat muslim maupun umat
non-muslim, juga baik bagi kaum adam maupun kaum hawa. Berbeda dengan agama lainnya, islam juga turut memuliakan wanita dan
menempatkan wanita pada posisi yang seharusnya. Islam menempatkan wanita
sebagaimana kadar potensi wanita itu sendiri. Oleh kerenanya, tulisan ini akan
menunjukan salah satu hal yang menjadi perhatian islam dalam rangka memuliakan
wanita; yakni hukum safar bagi seorang wanita dalam islam.
Dan sebelum menuju pembahasan yang lebih
lanjut, perlu diketahui bahwasanya tulisan ini dibangun atas dasar paradigma
yang menyatakan bahwasanya hukum islam merupakan hukum yang memuliakan wanita
dan menempatkan wanita pada posisi yang semestinya; bukan hukum yang menindas
wanita.
I. Hukum Safarnya Seorang Wanita
A. Pengertian Safar
Safar secara bahasa diambil dari bahasa arabسَفَرَ yang bermakna terbuka, nampak dan melakukan
perjalanan[1], disebut
demikian karena diri seorang musafir
akan terbuka dari tempat tinggalnya ke tempat yang terbuka. Serang musafir juga
akan terbuka perilaku, akhlaq, dan perangai aslinya, yang selama ini tertutup
ketika dia tidak melakukan perjalanan.[2]
Sedangkan secara syariat safar adalah
meninggalkan tempat bermukim dengan niat menempuh perjalanan menuju suatu
tempat,[3]
yang dengan adanya niat safar tersebut mampu merubah suatu hukum dalam islam[4].
B. Hukum Seorang Mahram Bagi Wanita yang Hendak Melakukan Safar.
a. Hukum Asal Safarnya Seorang Wanita
Berkaitan dengan mahram ketika seorang wanita
melakukan sebuah safar, Imam Bukhori, Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan
sebuah hadits dari Ibnu Abbas r.a, bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda:
لَا تُسَافِرِ
الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang wanita melakukan perjalanan kecuali bersama
mahram.”(H.R Bukhori,
Muslim dan Ahmad)
Hadits ini melarang kaum hawa melakukan
perjalanan tanpa didampingi seorang mahram, sekaligus perintah bahwasanya
seorang wanita yang melakukan perjalanan harus didampingi oleh seorang mahram.
Namun, hadits tersebut tidak menjabarkan secara rinci kondisi
dimana dilarangnya seorang wanita melakukan sebuah safar tanpa didampingi oleh seorang mahram. Hadits
tersebut tidak menjelaskan
ketentuan-ketentuan khusus bagi kasus-kasus khusus. Tidak ada penjelasan khusus
mengenai batas waktu maksimal. Tidak ada penjelasan khusus mengenai batas jarak maksimal. Namun apakah itu artinya tidak ada penjelasan
lebih lanjut terkait batas jarak ataupun waktu maksimal seorang wanita ketika
melakukan perjalanan tanpa didampingi oleh seorang mahram?
Jawabannya, tidak. Hadits tersebut merupakan
hadits mutlak, yang menyatakan bahwasanya haram hukumnya seorang wanita
melakukan safar (perjalanan) tanpa didampingi oleh seorang mahram. Namun di
samping adanya hadits mutlak, dalam
kasus safarnya seorang wanita terdapat pula hadits muqayyad yang
memperinci kasus tersebut. Hadits muqayyad-lah yang akan menjelaskan
ketentuan-ketentuan khusus bagi kasus-kasus khusus. Hadits muqayyad-lah
yang akan menjelaskan, hal-hal terkait batas jarak maksimal ataupun batas waktu
maksimal.
Namun, sebelumnya perlu diketahui, apabila
kita mengambil dalil yang menjadikan ‘jarak’ sebagai standar wanita boleh atau
tidaknya seorang wanita melakukan safar tanpa didampingi oleh mahram, itu
artinya otomatis standar ‘waktu’ tidak akan bisa kita gunakan. Begitu juga
sebaliknya. Oleh karenya, untuk menetukan apakah kita akan menjadikan ‘waktu’
ataukah ‘jarak’ sebagai standar, maka kita harus memahami manakah hadits yang
lebih rajih.
Maka pertanyaannya, apa batas maksimal
yang layak dijadikan standar? Apakah waktu ataukah jarak?
b.
Nash yang Menjadikan Jarak Standar
Berkenaan dengan batas jarak tempuh maksimal,
terdapat riwayat Abu Dawud adalah sebagai berikut: Telah meriwayatkan kepada
kami Yusuf bin Musa, dari Jarir, dari Suhail, dari Sa’ad bin Abi Sa’ad, dari
Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda:
لَا يَحِلُّ لِاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُوْنَ بِاللَّهِ
وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ بَارِدًا إِلَّا مَعَ ذيْ مَحْرَمٍ
عَلَيْهَا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari
akhir bepergian satu barid kecuali bersama mahramnya.”(H.R Abu Dawud)
Satu barid dalam konteks ini setara dengan empat fasakh, yang
setiap fasakhnya itu setara dengan 22km. Maka, satu barid di sini setara
dengan 88-89km.
c. Nash yang
Menjadikan Waktu Standar
Ketika kembali ditelusuri, Abu Dawud juga
meriwaytakan hadits yang menyatakan bahwasanya yang menjadi standar boleh atau
tidaknya wanita melakukan safar tanpa didampingi oleh seorang mahram adalah
jarak. Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya
Rasulullah SAW pernah bersabda:
لَا يَحِلُّ لِاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُوْنَ بِاللَّهِ
وَ الْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيْرَةَ يَوْمٍ أَوْ لَيْلَةٍ إِلَّا
مَعَ ذيْ مَحْرَمٍ عَلَيْهَا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari
akhir bepergian sehari semalam kecuali bersama mahramnya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Bukhori, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad)[5]
Namun apabila dilihat faktanya, tidak semua perawi meriwayatkan hal yang serupa dalam
perkara safarnya seorang wanita.
·
Imam Bukhori, Imam Muslim (keduanya dari Abu Sa’id
al-Kudzri), Imam Ahmad (dari Ibnu Sa’id), meriwayatkan bahwasanya Rasulullah
SAW bersabda:
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari
akhir bepergian dua hari, tiga hari, di atas tiga hari kecuali bersama
mahramnya.”
·
Selain itu, Imam Bukhori, dan Imam Ahmad meriwayatkan
dari Ibnu Umar bahwasaya Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari
akhir bepergian tiga hari kecuali bersama mahramnya.”
·
Dan ada pula riwayat Imam Muslim (dari Ibnu Umar), at-Tirmidzi,
Ibnu Majah, dan ad-Darimi dari Abu Said al-Khudzri bahwasanya Rasulullah
bersabda:
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari
akhir bepergian tiga hari dan lebih kecuali bersama mahramnya.”
Dari hadits-hadits yang telah dipaparkan
sebelumnya, jelas bahwa terdapat perbedaan standar waktu maksimal seorang
wanita melakukan safar (perjalanan) tanpa didampingi oleh seorang mahram. Dan
dengan menggabungkan beberapa hadits muqayyad tersebut, maka dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwasanya batas maksimal waktu tempuh seorang
wanita melakukan safar tanpa didampingi oleh seorang mahram ialah satu hari
satu malam. Hal ini dilakukan guna menggabungkan seluruh hadits muqayyad
yang membahas perkara safarnya seorang wanita. Hakikatnya, tidak adanya safar
selama dua hari, tiga hari, lebih dari tiga hari, dan seterusnya yang memenuhi
waktu safar selama satu malam satu malam. Dan pada faktanya, apabila seseorang
melakukan safar selama tiga hari, dua hari, ataupun lebih, maka setidaknya dia
telah pasti melakukan safar selama satu hari malam. Dan hal ini juga dilakukan
dalam rangka mengambil kehati-hatian.
d.
Waktu ataukah Jarak?
Apabila diteliti kembali, kuantitas perawi
yang meriwayatkan ‘hadits yang menjadikan waktu sebagai standar’ lebih banyak,
yakni oleh 4 orang perawi. Sedangkan hadits yang menjadikan ‘jarak’ sebagai standar
hanya diriwayatkan oleh Abu Dawud seorang diri, dan Abu Dawud sendiri merupakan
salah satu perawi yang meriwayatkan hadits yang menjadikan ‘waktu’ sebagai
standar. Oleh karena itu, dapat disimpulkan, dalil yang menjadikan ‘waktu’
sebagai standar merupakan dalil yang lebih rajih.
Itu artinya, standar wanita boleh atau tidaknya seorang wanita
melakukan safar tanpa didampingi oleh mahram ialah waktu. Maka, sejauh apapun
seorang wanita hendak menempuh perjalanan (tanpa mahram), bahkan hingga ratusan
atau ribuan kilometer sekalipun, hal itu boleh-boleh saja apabila waktu yang
ditempuh tidak lebih dari satu hari satu malam (24 jam); misalkan karena
menggunakan pesawat. Namun boleh di sini sama sekali tidak mengandung
makna harus, melainkan sebatas boleh (pilihan untuk melakukannya
ataukah tidak).
Sebagai catatan,
hukum safar bagi seorang wanita menjadi berbeda apabila kondisi
lingkungan sekitar sedang berada dalam kategori tidak aman; seperti ketika
sedang dalam masa peperangan, masa pemberontakan, dan lain sebagainya. Apabila hal-hal tersebut sedang terjadi,
maka seorang wanita sama sekali tidak
boleh bepergian tanpa didampingi oleh seorang mahram, walaupun hanya setengah
hari.
C. Kondisi dimana Seorang Wanita Boleh
Melakukan Safar Tanpa Didampingi Oleh Seorang Mahram
Pada hukum asalnya, seorang wanita harus
didampingi oleh seorang mahram ketika ia hendak melakukan sebuah perjalanan
(safar). Namun dalam beberapa kondisi tertentu, seorang wanita diperbolehkan
melakukan sebuah safar tanpa didampingi oleh seorang mahram. Berikut ialah
kondisi-kondisi khusus, dimana seorang wanita boleh melakukan safar tanpa
didampingi oleh seorang mahram:
a. Ketika seorang wanita melakukan sebuah safar,
sedangkan mahramnya wafat di tengah perjalanan (masiroh), sementara dia sudah
jauh meninggalkan tempat tinggal asalnya.[6]
b. Ketika seorang wanita wajib berhijrah.[7]
Sebagai contoh, terdapat seorang wanita di sebuah negeri kufur, yang kemudian
masuk islam. Seluruh syarat hijrah yang ada telah ia penuhi, kecuali adanya
seorang mahram. Namun walaupun begitu, ia tetap diwajibkan untuk berhijrah,
walaupun tanpa didampingi oleh seorang mahram.
c. Ketika seorang wanita melakukan zina (dalam
kondisi wanita tersebut belum menikah/ghairu muhshon), sehingga dia
dihukum dengan pengasingan (pengusiran), sementara dia tidak mempunyai mahram.[8]
d. Ketika seorang wanita dijatuhkan sebuah tuduhan
oleh seorang hakim, sehingga mengharuskannya untuk datang, sementara dia tidak
berada di situ ketika itu.[9]
Maka ia boleh pergi menuju tempat tersebut tanpa didampingi oleh seorang mahram
(apabila memang ia tidak memiliki seorang mahram)
II. Apa Maslahat
dari Diwajibkannya Seorang Wanita Melakukan Safar Bersama Seorang Mahram?
Maslahat dari hukum suatu perkara merupakan
salah satu hal yang menarik untuk dibahas. Namun yang perlu menjadi titik
penting, hendaknya pembahasan tentang maslahat suatu hukum didahulukan oleh
status hukum itu sendiri. Sehingga tidak akan timbul sebuah presepsi yang
mengatakan bahwasanya mengamalkan suatu hukum syara adalah karena maslahat dari
hukum syara tersebut. Dan terlebih, Allah sendiri telah mengatakan bahwasanya
setiap hukum syara pasti terdapat maslahat di dalamnya, baik yang telah manusia
ketahui maupun yang tidak dan belum diketahui oleh manusia.
Islam sangat memuliakan seorang wanita. Hal
inilah merupakan salah satu bukti islam yang memuliakan kaum hawa. Dengan
diwajibkannya seorang wanita melakukan safar bersama seorang mahram, hal itu
dapat menghindari hal-hal yang tidak dinginkan menimpa seorang wanita, seperti
pelecehan dan semacamnya. Telebih mengingat fakta kondisi lingkungan kini yang
marak akan terjadinya kekerasan, pencurian, pelecehan, dan lain sebagainya.
Apalagi pada faktanya, kini wanita menjadi sasaran empuk atas terjadinya semua
tragedi-tragedi tersebut. –na’udzu billaahi min dzalik-
III.
Kesimpulan
Seorang wanita boleh melakukan perjalanan tanpa didampingi seorang
mahram, apabila perjalanan yang ia tempuh tidak menghabiskan waktu lebih dari
24 jam. Dan apabila keadaan lingkungan sedang tidak aman, wanita dianjurkan
untuk sama sekali tidak melakukan safar tanpa didampingi seorang mahram. Hal
ini membuktikan bahwasanya islam sangat melindungi kaum wanita.
Refrensi
·
al-‘Alim al-Jalil ‘Atha’ bin Khalil Abu Rusythah, Ensiklopedi Jawab Soal
Amir Hizbut Tahrir, Al-Azhar Publishing, 2014.
·
Ibnu
mandhur, Lisan al-Arab.
·
Lisanul Arab, 6/277, Asy-Syarhul Mumti’, 4/490, Shahih Fiqhus Sunnah, 1/472.
·
Mu’jam
Maqayis.
·
Muhsin
Baharudin Blog, oleh: Muhsin, 20
Februari 2010.
·
Prof. Dr. Falih bin Muhammad bin Falih ash-Shughair, Safar,
Definisi Dan Hukumnya, IslamHouse.com, 2014.
·
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqh Wanita Edisi
Lengkap, 2011.
·
Terjemahan Al-Muntaqa Min Fara`id Al-Fawa`id hal. 44-45.
[2] Ibnu mandhur, Lisan al-Arab
[5] al-‘Alim al-Jalil ‘Atha’ bin Khalil Abu Rusythah,
Ensiklopedi Jawab Soal Amir Hizbut Tahrir, Al-Azhar Publishing, 2014.
[6] Terjemahan Al-Muntaqa Min
Fara’id Al-Fawaid hal 44-45
[7] Terjemahan Al-Muntaqa Min
Fara’id Al-Fawaid hal 44-45
[8] Terjemahan Al-Muntaqa Min
Fara’id Al-Fawaid hal 44-45
[9] Terjemahan Al-Muntaqa Min
Fara’id Al-Fawaid hal 44-45
0 comment:
Posting Komentar
Dengan senang hati kami menerima komentar dari para pembaca yang terhormat.
Komentar yang diberikan merupakan sebaik-baiknya masukan untuk blog ini kedepannya.