Minggu, 05 Juni 2016

Laporan SDA di Pacitan



PENGELOLAAN SUMBER DAYA MARITIM
Di Pantai Tawang, Desa Sidomulyo, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan


Disusun Oleh :
Salma Azizah Dzakiyyunnisa
Kelas XI

Guru Pembimbing:
Ustadz Agus Salim Musthofa, SE.
Ustadz Yoyok Tindyo Prasetyo, ST.

Pondok Pesantren Taruna Panatagama
Jl. Maguwo No.442a, Wonocatur, Banguntapan, Bantul, DIY

Semester Ganjil
2015-2016

BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

            Potensi sumber daya maritim hanyalah salah satu di antara beberapa potensi yang ada di Kabupaten Pacitan. Selain terkenal dengan kota seribu goa, Pacitan juga terkenal sebagai kota yang dihiasi banyak pantai yang eksotis. Setiap pantai yang ada di Pacitan memiliki ciri khasnya tersendiri. Ada yang memiliki deburan ombak yang besar sehingga pas bagi para peselancar. Ada juga yang memiliki pasir putih nan halus. Ada juga yang memiliki air yang tenang bak sebuah telaga, yakni Pantai Tawang.
            Secara administratif, Pantai Tawanghanyalah salah satu di antara banyaknya pantai yang ada di Desa Sidumulyo, Kecataman Ngadirojo, atau biasa juga disebut sebagai Lorok[1]. Sedangkan Kecamatan Ngadirojo sendiri merupakan salah satu dari 12 kecamatan yang ada di Kabupaten Pacitan, Jawa Tengah.[2] Adapun secara penampakan geografisnya, Pantai Tawang lebih sesuai disebut sebagai teluk karena deretan karang yang nyaris melingkar sehingga memecah ombak yang datang menghantam. Airnya sangat tenang, bahkan nyaris tidak ada ombak.
Pantai tersebut juga dipenuhi oleh ratusan kapal para nelayan, yang mana hampir setiap harinya pergi melaut. Potensi perairan Pacitan pun sungguh menjanjikan. Terdapat potensi lobter jenis mutiara, batu dan pasir sebanyak 5.625 Kg/tahun. Terdapat potensi rumput laut sebanyak 72.550 kg/tahun,ikan Bawal sebanyak 6.281 Kg/tahun, ikan Layur sebanyak 65.647 Kg/tahun, ikan Kerapu.sebanyak 5.631 Kg/tahun dan masih banyak lagi.[3]
            Oleh karenanya, Pantai Tawang merupakan salah satu lokasi tempat pemanfaatan potensi sumber daya maritim yang begitu berlimpah. Lantas, bagaimana sejauh manakah pengelolaan potensi sumber daya maritim di Pantai Tawang? Bagaimana kondisi perekonomian para nelayan di pantai tersebut? Apa sajakah kendala yang terjadi di pantai tersebut?
            Maka, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dilakukanlah investigasi secara lanjut mengenai potensi dan pengelolaan sumber daya maritim di sekitar Pantai Tawang.

B.     TUJUAN

1.      Mengetahui potensi sumber daya maritim yang ada di daerah Pantai Tawang.
2.      Mengetahui sejauh mana pengelolaan sumber daya maritim yang telah dilakukan oleh masyarakat setempat.
3.      Mengetahui kondisi perekonomian masyarakat bertolak dari pengelolaan sumber daya maritim.
4.      Mengetahui poblematika yang terjadi di tengah-tengah pengelolaan sumber daya maritim.
5.      Merumuskan akar masalah dan solusi jangka panjang dan pendek dari problematika yang terjadi.

C.    RUMUSAN MASALAH

1.      Apa saja potensi sumber daya maritim yang ada di daerah Pantai Tawang?
2.      Sejauh manakah upaya masyarakat setempat dalam mengelola sumber daya maritim?
3.      Bagaimana kondisi masyarakat setempat bertolak dari penglolaan sumber daya maritim?
4.      Apakah terjadi sebuah problematika di antara masyarakat setempat sepanjang mengelola sumber daya maritim?
5.      Apa akar dari problematika tersebut?
6.      Apa solusi yang tepat untuk menyeesaikan problematika tersebut?

D.    METODE PENELITIAN

1.      Studilitelatur; sebagai sumber rujukan awal.
2.      Observasilapangan; sebagai sumber pelengkap.
3.      Wawancara kepada pelaku dalam siklus pengelolaan sumber daya maritim; sebagai sumber utama.

E.     MANFAAT

1.      Bagi Peneliti

Diharapkan dapat menjadi sarana bagi peneliti untuk berlatih memahami potensi dan pengelolaan potensi di suatu wilayah. Selain itu juga disertai dengan melacak problematika yang terjadi di antaranya, merumuskan akar permasalahan, solusi dan rencana aksi.

2.      Bagi Akademis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebuah rujukan bagi penelitian terkait yang akan dilakukan ke depannya, baik itu dari segi tema, pengumpulan data, perumusan, penyimpulan, maupun dari segi kosep solusi dan perencanaan aksi.

3.      Bagi Masyarakat Pantai Tawang

Hasilpenelitianinidapatdijadikancerminbagimasyarakatsekitar Pantai Tawang,terkait problematika yang sedangmenimpamereka.Diharapakan pula, konsepsolusidanrencanaaksiinidapatmembantumasyarakatBansaridalammenyelesaikanproblematika yang menimpamereka.

4.      Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapakan dapat menjadi masukan bagi pemerintah yang selama ini berkuasa dan mengeluarkan berbagai kebijakan yang mana kebijakan-kebijakan tersebut tidak kunjung membuat masyarakat sejahtera.






BAB II

ISI MAKALAH

A.   KEADAAN GEOGRAFIS

Pantai Tawang berada di Desa Sidumulyo, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Walaupun Pantai Tawang berada di barisan Pantai Selatan Jawa, Pantai Tawang memiliki ombak yang tenang bahkan nyaris tidak ada. Hal tersebut disebabkan oleh keberadaan dua buah karang besar menyerupai bukit. Bukit karang tersebut berada di sisi kanan dan sisi kiri pantai, bagaikan sebuah pagar yang nyaris membentuk setengah lingkaran. Dua buah bukit karang tersebut memecah datangnya ombak. Dua buah bukit karang tersbeut juga menghalau hembusan angin yang datang sehingga kecepatan angin di sekitar pantai pun rendah. Dan hal tersbut menjadi faktor dari tidak adanya ombak di sekitas pantai.
Pantai Tawang juga memiliki lebar pantai yang besar. Pasirnya halus dan berwana putih gading. Karena dataran pantai yang landai dan nyaris tidak ada ombak, air laut di sekitar pantai pun cenderung menggenang. Maka wajarlah jika di sekitar luasan pantai banyak ditumbuhi lumut. Dengan beberapa kondisi tersebut, Pantai Tawang dapat dikatakan sesuai untuk dijadikan tempat berlabuhnya perahu para nelayan.

B.     SUMBER DAYA MARITIM

Pantai Tawang dan laut sekitarnya memiliki sumber daya hayati yang beragam. Mulai dari lobster, kepiting, cumi-cumi, gurita, ikan tuna, ikan tongkol, ikan banyar, ikan layur, ikan teri, ikan bawal putih, ikan bawal merah, ikan tenggiri, ikan teracah, ikan saru, ikan cucut, ikan brencing, ikan krista dan lain sebagainya.
Bila sedang beruntung, dengan membentangkan jalanya, sebuah perahu nelayan akan mendapatkan bermacam-macam ikan dengan total massa 1,5 kwintal dalam satu kali melaut. Ikan layur dan ikan tuna berukuran besar -yang termasuk ke dalam level perdagangan internasional- pun mudah didapat hanya dengan melemparkan kail pancing berumpan daging layur yang telah dicacah. Lebih mudah lagi, dengan membentangkan jala di sekitar pantai –tanpa menaiki perahu-seseorang akan mendapatkan  ikan teracah, ikan saru dan ikan-ikan lainnya. Dengan menyusuri karang, seseorang akan mendapatkan lobster yang memiliki harga jual tinggi.
Bahkan menurut website resmi Kecamatan Ngadirojo, terdapat potensi lobter jenis mutiara, batu dan pasir sebanyak 5.625 Kg/tahun. Terdapat potensi rumput laut sebanyak 72.550 kg/tahun, ikan Bawal sebanyak 6.281 Kg/tahun, ikan Layur sebanyak 65.647 Kg/tahun, ikan Kerapu. sebanyak 5.631 Kg/tahun dan masih banyak lagi.
Dan itu hanya beberapa sumber daya yang telah diketahui. Bukankah mungkin saja bila di sekitar pantai dan laut sana masih banyak potensi yang belum diketahui dan dimafaatkan?

C.    PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN

Di sekitar pantai terdapat sekitar 250 buah perahu. Perahu-perahu tersebut berbaris rapih dengan formasi 10 buah perahu berjajar membelakangi laut. Setiap perahu dilengkapi berbagai peralatan melaut, seperti halnya sebuah mesin, beberapa set jaring, box-box tempat menyimpan ikan dan alat pemancing.

1.      Modal awal

Sejak tahun 2002, masyarakat setempat mulai meniggalkan perahu kayu dan berlih pada perahu fiber. Harga perahu tersebut berkisar antara Rp.6.000.000-Rp.13.000.000, tergantung usia, ukuran dan kualitasnya.Ada yang membelinya dari masyarakat setempat. Ada yang membelinya dari Kota Pacitan. Ada juga yang membelinya dari daerah lain, seperti Cilacap dan Ciamis. Adapaun harga jaring berkisar antara Rp.220.000-Rp.360.000 dengan panjang dan lebar sekitar 60 m-100 m. Jaring tersebut mereka rangkai sendiri dengan pemberat dan tali-tali pembatas, agar siap untuk digunakan saat melaut. Sedangkan harga mesin sendiri lebih besar dibandingkan harga perahu, yakni 26 juta per buahnya. Kebanyakan nelayan yang ada membelinya dari Cilacap dan Provinsi DIYogyakarta. Mesin tersebut membutuhkan bensin sebagai bahan bakarnya, yang mana setiap kali melaut akan menghabiskan sekitar 15-25 Liter bensin. Banyak atau tidaknya bensin yang dibuthkan tergantung dengan jauh atau tidaknya jarak tempuh perahu. Biasanya perahu berlayar hingga kejauhan 30-40 mil dari pantai.

2.      Pendapatan dan mekanisme pembagiannya

Biasanya seperangkat perahu mewakili 2 orang nelayan. Namun seperangkat perahu hanya dimiliki oleh salah seorang dari keduanya. Sang pemilik perahu pun yang menanggung seluruh modal secara finansial, seperti peralatan melaut dan bensin. Kemudian keuntungan dari hasil melaut akan dibagi sebanyak 3/4 bagi si pemilik perahu dan sisanya diberikan oleh salah seorang lainnya. Adapun keuntungan dari hasil melaut sendiri tidak bisa dipastikan. Bila sedang beruntung, sang nelayan akan mendapatkan Rp.2.000.000 dalam satu kali melaut. Bila tidak, sang nelayan akan mengalami kerugian akibat tidak adanya hasil tangkapan yang akan menggantikan biaya bensin. Fenomena ‘tidak ada ikan di laut’ tidak jarang terjadi. Bahkan fenomena ini seringkali terjadi dengan cepatnya. Seperti misalnya, ketika saat ini di laut terdapat banyak sekali ikan, bisa jadi dua jam ke depan kondisi berbalik 180º.Para nelayan pun tidak mengetahui apa penyebab dari fenomena tersebut.

3.      Peran kelompok nelayan dan pemerintah

Di Pantai Tawang pun terdapat 8 kelompok nelayan. Ada yang rutin melakukan pertemuan sebanyak 1 minggu sekali, ada juga yang sebatas melakukan pertemuan rutin sebanyak 1 bulan sekali. Pertemuan tersebut biasanya membahas apa saja yang menurut para nelayan menjadi masalah bersama. Kelompok nelayan juga membantu para nelayan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Biasanya setiap kelompok mengajukan permohonan proposal kepada dinas yang berkaitan. Setelah sekitar 2 bulan diproses, bantuan pun akan turun. Bentuk bantuan yang turun tidak selamanya sesuai dengan yang nelayan minta dan harapkan, namun tergantung dengan kesanggupan dinas terkait. Biasanya bantuan tersebut turun sebanyak satu kali dalam satu tahunnya.
Selain memberikan bantuan selama dua tahun sekali, pemerintah setempat juga menarik retribusi kepada para nelayan dan tengkulak. Dinas yang sering kali meminta retibusi berada di bawah lemaga Koperasi Unit Daerah (KUD). Bagi para nelayan dimintai sebanyak 1% setiap kali melaut, sedangkan para tengkulak dimintai sebanya 2% setiap kali menjual kulaannya.

4.      Distribusi pemasaran

Pantai Tawang yang khas akan keberadaan nelayan pun dilengkapi dengan pasar pelelangan ikan. Di pasar itulah biasanya terjadi interaksi antara pabrik, pengecer, tengkulak dan nelayan. Nelayan akan menjual hasil tangkapannya kepada para tengkulak, kemudian para tengkulak akan menjualnya pada pengecer dan pabrik. Rantai pemasaran tersebut bersifat baku dan permanen. Terdapat 8 orang tengkulak di Pantai Tawang. Para tengkulak itulah yang nantinya akan membeli seluruh hasil tangkapan nelayan. Setiap tengkulak sudah memiliki target nelayannya masing-masing dan hal tersebut pun bersifat baku. Sepeti contohnya seorang tengkulak bernama Talkim yang membawahi 28 orang nelayan. Bahkan saking permanennya ketentuan tersebut, seorang nelayan tidak boleh menjual ikan pada seorang pengecer walaupun pengecer tersebut adalah istri sang nelayan.
Hal tersebut terjadi karena para tengkulak telah mengikat para nelayan dengan uang pinjaman yang tengkulak berikan. Uang pinjaman tersebut biasanya digunakan untuk modal awal seperti peralatan dan perlengkapan melaut (contoh : perahu) ataupun juga modal selanjutnya seperti bensin. Sedangkan para tengkulak mendapatkan uang tersebut dari hasil pinjaman ke bank. Dengan ini, rantai pemasaran pun bersifat baku dan permanen.
Sebagai pemegang kendali, sang tengkulak pun berperan sebagai aktor yang menentukan harga jual ikan dan hasil tangkapan lainnya. Sedangkan para nelayan hanya bisa patuh terhadap harga yang sudah tengkulak berikan. Harga beli yang tengkulak tetapkan pada nelayan nantinya akan cukup berbeda jauh dengan harga jual yang tengkulak tetapkan pada pengecer dan pabrik. Seperti contoh, nelayan menjual ikan banyar dengan harga Rp.12.000/kg. Namun di pasaran harga ikan banyar akan mencapai Rp.20.000/kg. Jika sang tengkulak mengambil keuntungan sebanyak Rp.3.000/kg, ia akan mendapatkan keuntungan 3.000.000/ton ikan per hari. Cukup besar, bukan?
Oleh karenanya, dapat diketahui dari keterangan di atas, bahwa yang berkuasa dalam kancah realita pengelolaan sumber daya maritim adalah sang tengkulak. Sedangkan para nelayan yang hampir setiap harinya berjuang menerjang ombak mencari berkwintal-kwintal ikan menjadi subjek yang tertindas. Maka tidak heran pula bila mayoritas nelayan yang ada memilih menjadi nelayan karena keterpaksaan dan tidak memiliki pilihan yang lain. Walaupun nelayan menjadi profesi yang turun menurun, kebanyakan nelayan tidak mengharapkan anak keturunannya menjadi nelayan seperti dirinya. Mereka mengharapkan anak mereka menjadi sosok yang lebih baik dari orang tuanya dengan mengenyam pendidikan yang tinggi.

BAB III

PEMBAHASAN

Potensi Sumber Daya Hayati di sekitar pantai Tawang sudah dimanfaatkan dengan baik dengan keberadaan para nelayan yang hampir setiap harinya membentangkan jalanya di laut. Secara geografis, pantai Tawang pun sangat cocok dijadikan tempat berlabuhnya perahu para nelayan. Walaupun berada di garis pantai selatan yang mana langsung berbatasan dengan samudra Hindia, wujud pantai yang mana berupa teluk membuat para nelayan lebih mudah untuk melaut. Hal tersebutkarena ombak yang ada tidak sebesar ombak pantai selatan pada umumnya. Para nelayan pun cukup kreatif dan inovatif dalam memanfaatkan potensi yang ada. Tidak hanya dengan jala, para nelayan pun kerap kali memanfaatkan potensi hayati yang ada menggunakan alat pancing dan telenta khusus yang dimilikinya, seperti halnya ketika berburu lobster di pinggir pantai.
Pengelolaan potensi hayati pun telah membentuk suatu ritme perekonomian yang istimewa di wilayah tersebut. Namun sayangnya, pada point inilah terdapat sebuah problematika yang akhirnya membuat para nelayan berada pada posisi yang tentindas, sedangkan para tengkulak berada pada posisi yang menindas. Mengapa bisa demikian?
Para tengkulak selaku pemenang memainkan perannya sebagai sosok pemilik modal, walaupun notabenenya mereka pun hanya meminjam modal tersebut dari bank. Kemudian modal yang mereka miliki dipinjamkan kepada para nelayan, yang mana timbal baliknya nelayan tersebut harus menjual hasil tangkapannya kepada sang tengkulak. Karena terikat dengan hutang, nelayan harus menjual hasil tangkapannya dengan harga yang telah ditentukan oleh para tengkulak. Tanpa bisa menawar. Dan nelayan pun tetap harus mengembalikan hutang tersebut beserta bunga yang para tengkulak minta. Kemudian para tengkulak akan menjual hasil tangkapan tersebut dengan harga yang cukup berbeda dengan harga yang ia berikan pada nelayan. Tengkulak pun berada di posisi menang, bermodal pinjaman dari bank dan link para pabrik yang bersedia membeli hasil tangkapan dalam jumlah besar.
Realita tersebut wajar saja terjadi dalam era kini, di mana sistem kapitalisme sangat berkuasa dan mendarah daging di setiap sudut kehidupan masyarakat. Sekalipun masyarakat Pantai Tawang yang notabenenya masih terbilang berada di zona pedesaan. Dan dari realita ini, kita dapat mengidera dengan jelas dampak dari busuknya kapitalisme.

BAB IV

PENUTUPAN

A.    SARAN DAN KESIMPULAN
Maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan sumber daya alam di Pantai Tawang sudah lumayan baik, walaupun tidak mencapai sempurna. Namun terdapat problem yang cukup kompleks dalam hal pemasarannya, terlebih dalam peran tengkulak.
Dari point ini saya menyarankan andaikan saja tidak ada tengkulak dalam rantai pemasaran, niscaya kehidupan para nelayan akan lebih sejahtera. Bila memang para nelayan tidak mungkin menjual hasil tangkapannya sendiri pada pabrik maupun pengecer –karena keterbatasan waktu dan lain hal-, peran tengkulak bisa diambil alih oleh pemerintah setempat. Agar harga tetap stabil, penentuan harga jual hasil tangkapan bisa dilindungi oleh hukum dengan pertimbangan yang matang tanpa harus menindas pihak nelayan.
Tidak hanya berperan sebagai suplayer, pemerintah setempat juga seharusnya mengontrol kesejahteraan rakyatnya setiap hari. Mereka harus memastikan tidak ada rakyat yang tertindas di bawah kepemimpinannya. Dan pemerintahan seperti itu akan sulit diwujudkan di era sekarang. Dan akan sangat mudah diwujudkan ketika syariat islam ditenrapkan dalam bingkai negara islam.


Yogyakarta, 28 Oktober 2015


Penulis,
Salma Azizah Dzakiyyunnisa
Kelas XI



[1]https://id.wikipedia.org/wiki/Ngadirojo,_Pacitan, diakses pada tanggal 27 Oktober 2015, pukul 06.45
[2]https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Pacitan, diakses pada tanggal 27 Oktober 2015, pukul 06.45

TEROR DI BALIK TEROR


Proyek Terselubung Di Balik Terorisme


            Tepat pada 14 Januari 2016, masyarakat dibayangi rasa cemas akibat warta terjadinya bom dan aksi tembak-menembak di Sarinah, Thamrin, Jakarta. Maka tidak heran jika kasus yang memakan 36 korban luka-luka dan korban jiwa ini, menjadi topik utama pada hari itu.
Hal yang menarik di sini, dengan mudahnya aksi terorisme tersebut diidentikan dengan pergerakan islam radikal, bahkan hingga dikaitkan dengan keberadaan gerakan ISIS di Indonesia. Sehingga dalam kurun waktu yang begitu singkat, tersebarlah opini bahwa islam radikal merupakan sumber dari berbagai aksi terorisme. Bahkan tidak hanya aksi ‘terorisme’ di tahun ini, namun juga aksi-aksi teror sebelumnya.
Sehingga dampaknya, sadar maupun tidak, kaum muslimin seakan-akan terpecah menjadi dua kubu. Kubu pertama ialah kubu muslim radikal dan kubu lainnya ialah kubu islam moderat. Muslim radikal identik dengan mereka yang taat beribadah, selalu mengatasnamakan Allah dalam setiap hal, menghendaki formalitas syariah dalam negara, menghendaki islam sebagai dasar negara, membenci negara Amerika dan sekutunya, dan lain sebagainya. Dan kubu mereka itulah yang identik dengan aksi terorisme. Sedangkan kubu islam moderat sebaliknya, dan masyarakat yang awam otomatis menjadi bagian dari kubu tersebut. Hal tersebut karena adanya rasa takut secara psikologis terhadap keberadaan para teroris yang identik berasal dari kubu muslim radikal. Dan itulah yang saya sebut sebagai “teror di balik teror”.
Ya, teror di balik teror. Teror secara fisik, seperti halnya aksi bom, aksi penembakan dan semacamnya, hanya sebagai wasilah bagi teror yang sebenarnya, yakni teror psikologis bagi identitas dan kepercayaan diri seorang muslim. Coba renungkan. Pada kasus bom sarinah beberapa bulan lalu, korban jiwa maupun luka-luka tidak mencapai ratusan, bahkan 50 orang pun tidak. Berbeda jauh dengan korban yang ditelan oleh penyerangan Israel terhadap Palestina, kekerasan rezim al-Assad terhadap rakyat Suriah, inflasi Amerika terhadap Irak, yang mana memakan lebih dari ribuan korban jiwa. Itu artinya secara fisik, teror bom Sarinah tidak terlalu banyak memakan korban. Bukankah begitu?
Walaupun demikian, teror bom sarinah berhasil mencapai tujuan utamanya, yakni teror secara psikologis. Teror bagi kepercayaan diri dan identitas seluruh muslim, yang mana di Indonesia saja jumlahnya mencapai 200.000.000 jiwa. Dengan bantuan media massa yang kian canggih dan menggila, warta kasus ini mampu menanamkan opini buruk terhadap muslim radikal di tengah masyarakat awam. Singkatnya, menjamurlah opini bahwa islam radikal = terorisme.
Inilah proyek terselubung di balik aksi terorisme. Mereka yang berpegang teguh terhadap ajaran islam diidentikan dengan para teroris. Mereka yang menentang imperialisme Amerika dan sekutunya diidentikan dengan aksi terorisme. Dan inilah yang disebut sebagai proyek deradikalisasi. Yakni usaha untuk memperlunak orang-orang yang dicap sebagai kalangan radikal. Juga usaha untuk mencegah seluruh kaum muslimin menjadi seperti orang-orang yang dianggap radikal.
Perlu diketahui, selain mebelah kaum muslimin menjadi dua kubu, proyek deradikalisasi ini juga memberikan dampak lain terhadap masyarakat, baik itu kaum muslim maupun selainnya, yakni;
·         Membuat masyarakat lupa akan hakikat terorisme yang sesungguhnya
·         Melahirkan tafsiran yang menyimpang terhadap istilah syara (contoh; Jihad)
·         Melanggengkan penajajahan Barat terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia
·         Semakin menjauhkan kaum muslimin dari penerapan agama di kehidupan sehari-hari (sekulerisasi)
·         Menghambat kebangkitan islam
Dapat disimpulkan bahwa saat ini teror secara fisik bukanlah teror yang utama. Berhati-hatilah, teror psikologis mengintai Anda, sebagai seorang muslim. Jangan terjebak oleh makar proyek deradikalisasi ala penjajahan Barat. Sesungguhnya mereka hanyalah takut akan kebangkitan islam. Menjadilah seorang muslim yang kuat, dan jangan bersikap lemah. Semoga islam bisa kembali diterapkan di tengah-tengah sendi kehidupan kita. Aamiiin...

Bandung, 10 Maret 2016

Salma Azizah Dzakiyyunnisa


NUSANTARA MENAPAKI KEBANGKITAN YANG SEMU


       I.            Penjajahan Jepang
A.     Latar Belakang Penjajahan Jepang
Di awal abad 21, KaisarTenno Meiji mampu membawa perubahan besar terhadap dunia industri Jepang. Perubahan yang cukup signifikan membuat perkembangan industri Jepang mampu mengimbangi perkembangan negara-negara imperialis Barat. Hal tersebut memberikan dampak terhadap dunia pepolitikan Jepang. Politik luar negeri Jepang yang sebelumnya tertutup menjadi imperialis. Saat itu Jepang memiliki impian menyatukan Asia di bawah kendalinya.
Karenanya, sebagai negara industri dan militer, Jepang membutuhkan pasokan bahan bakar yang cukup. Sementara dataran Jepang bukanlah dataran yang menyediakan kebutuhan tersebut. Beranjak dari hal tersebut, Jepang mulai melakukan penjajahan terhadap dataran yang memiliki pasokan bahan bakar berlimpah, termasuk Nusantara. Itulah sebab mengapa Jepang memilih Nusantara sebagai target jajahannya. Di sisi lain, dengan jumlah penduduk yang cukup banyak, Nusantara menjadi sasaran empuk bagi pemasaran produk industri Jepang.
B.     Masuknya Penjajah Jepang
Jepang mulai memasuki Nusantara pada 11 Januari 1942, setelah sekitar satu bulan yang lalu berhasil membom Pearl Harbor, pangkalan Armada laut Amerika terbesar di Pasifik. Satu hari setelah Militer Belanda menyatakan perang terhadap Jepang, Belanda menyatakan menyerah. Otomatis, terlepaslah kota Tarakan ke tangan penjajah Jepang, kemudian disusul oleh kota Balikpapan, yang mana sama-sama memiliki minyak bumi yang melimpah. Bagaikan domino, satu bulan setelahnya, kota-kota Nusantara lainnya satu per satu jatuh ke tangan penjajah Jepang. Seperti Samarinda, Kotabangun, Banjarmasin, juga Palembang.
Pada 1 Meret, Jepang mampu sekaligus mendarat di tiga titik, yakniTeluk Banten, Eretan Wetan (Jawa Barat) dan Kragan (Jawa Tengah). Jepang terus merengsek masuk ke pusat pemerintahan Hindia Belanda. Sementara Hindia Belanda dalam tiga hari berturut-turut mencoba mengambil kembali beberapa kota yang telah direbut, namun hasilnya nihil. Sebagai wujud ‘menyerah’, Batavia dinyatakan sebagai kota terbuka, sehingga Jepang pun langsung merebutnya. Itulah masa di mana Jepang secara resmi menjajah Indonesia.
C.     Bibit NKRI yang Ditebar Jepang
Guna memikat hati pribumi, Jepang membentuk beberapa gerakan. Di antaranya gerakan PUTERA dan PETA. Adapun gerakan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) didirikan oleh Jepang guna kaderisasi pribumi sebagai pembantu bagi Jepang dalam hal militer. Gerakan ini dipimpin oleh empat serangkai; Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara dan Kyai Haji Mas Mansur. Namun apa boleh buat, gerakan yang notebenenya dibentuk oleh Jepang malah menjadi bumerang bagi pembentuknya. Semangat kemerdekaan malah menyelimuti atmosfer gerakan ini.
Setelah gerakan PUTERA dibubarkan, diciptakanlah gerakan PETA (Pembela Tanah Air). Gerakan ini beranggotakan pemuda pribumi yang dilatih militer oleh tentara Jepang secara langsung. Namun fakta membuktikan, sebagaimana geraka ciptaan Jepang sebelumnya, PETA juga menjadi bumerang bagi Jepang. Pembekalan militer yang diterima di gerakan ini justru menjadi bekal bagi kemunculan NKRI dalam bidang perang fisik.
Itulah kedua bibitdari kemunculan NKRI.

   II.            Kemunculan NKRI
A.    Latar Belakang BPUPKI
Mendekati tahun 1945, satu per satu wilayah jajahan Jepang bisa kembali direbut oleh pasukan Imperialis Barat (Amerika cs). Dengan hilangnya sebagian besar jajahannya, Jepang merasa terjepit sehingga membutuhkan bantuan, terutama bantuan dari pribumi Nusantara. Oleh karenanya, untuk mendapatkan dukungan serta peran pribumi Nusantara dalam perang pasifik, Jepang menjajikan kemerdekaan bagi Nusantara. Janji tersebut diumumkan pada tanggal 7 September 1944, dan dikenal sebagai Janji Kemerdekaan Indonesia.
Sebagai pemenuhan janji, pada tanggal 1 Maret 1945, dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
B.     Perjalanan BPUPKI
BPUPKI yang diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat ini memiliki 62 anggota. Sebagian anggotanya merupakan para nasionalis sekuler, sedangkan sebagian lagi ialah mereka yang menginginkan islam sebagai dasar negara.
Pada sidang resmi pertamanya, yang dimulai dari tanggal 29 Mei, BPUPKI mulai merumuskan dasar negara dan bentuk negara. Namun dalam sidang pertama ini, yang disepakati ialah usulan dasar negara ala Ir Soekarno, Dr Soepomo dan Muhammad Yamin. Usulan ketiga anggota BPUPKI ini notabenenya tidak jauh berbeda.
Namun karena sebab hingga berakhirnya sidang pertama tersebut dasar negara belum juga diputuskan secara tepat, diadakan kembali sidang. Sidang ini dilakukan oleh panitia sembilan, yakni Ir. Soekarno (ketua)Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua)Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. (anggota)Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (anggota)Abdoel Kahar Moezakir (anggota)Raden Abikusno Tjokrosoejoso (anggota)Haji Agus Salim (anggota)Mr. Alexander Andries Maramis (anggota). Dapat diperhatikan, anggota panitia ini setengahnya berasal dari kalangan nasionalis, sedangkan sisanya berasal dari kalangan islam.
Pada sidang, ditetapkan bentuk negara Indonesia ialah republik. Selain itu, yang terpenting, ditetapkan pula Piagam Jakarta sebagai dasar negara. Adapun yang dimaksud dasar negara dari Piagam Jakarta ini ialah,
  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,
  3. Persatuan Indonesia,
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setalah adanya Piagam Jakarta, diadakan kembali sidang resmi BPUPKI yang kedua. Dalam sidang ini anggota dibagi menjadi fraksi-fraksi kecil. Yakni fraksi yang merancang undang-undang dasar (diketuai oleh Ir. Soekarno), fraksi yang membela tanah air (diketuai oleh Raden Abikusno Tjokrosoejoso), dan fraksi yang menyusun ekonomi dan keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta).
Pada sidang resmi yang kedua, piagam jakarta ini disepakati,walau masih terdapat perdebatan dalam hal penerapan syariat islam.
C.     Perjalanan PPKI dan hilangnya Piagam Jakarta
Sebagaimana BPUPKI, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) juga merupakan kelompok yang diinisiasi oleh Jepang. Kelompok ini diadakan guna meresmikan undang-undang dasar serta serah terima pemerintahan Jepang.
Namun yang menarik di sini, berdasarkan surat kaleng yang datang dari wilayah Nusantara timur, terjadi beberapa perubahan terhadap Piagam Jakarta. Surat kaleng ini konon berasal dari kalangan minoritas yang menyatakan keberatan atas 7 kata yang ada di Piagam Jakarta, yakni “Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Setelah tibanya surat kaleng ini, diadakanlah rapat dalam kurun beberapa menit. Rapat tersebut menghasilkan keputusan di antaranya,
Pertama, kata “Muqaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan kata “Pembukaan”.
Kedua, anak kalimat "Piagam Jakarta" yang menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, diganti dengan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Ketiga, kalimat yang menyebutkan “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, seperti tertulis dalam pasal 6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.
Keempat, terkait perubahan poin Kedua, maka pasal 29 ayat 1 dari yang semula berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi berbunyi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Seirama dengan ini, hanya dalam beberapa menit saja, Piagam Jakarta yang baru diproklamirkan selama kurang dari 24 jam ini hilang.

III.            Tanggapan
Dari uraian sejarah tersebut, memang jelas nampak usaha sebagian tokoh islam yang berjuang menjadikan islam sebagai dasar negara.
Namun yang penting di sini, karena BPUPKI dan PPKI merupakan lembaga bentukan Jepang, maka memang masih terdapat andil Jepang dan pihak asing lainnya untuk mengotak-atik keputusan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, tokoh yang banyak berperan dalam kemerdekaan ini mayoritas merupakan kelompok nasionalis, yang menginginkan persatuan berdasarkan kebangsaan Indonesia.
Karena mayoritas dan bantuan dari tangan-tangan yang tidak terlihat, kelompok nasionalis ini memenangkan suara. Sehingga sampai saat ini, Indonesia berdiri atas dasar nasionalis yang terangkum dalam pancasila.
Padahal ikatan nasionalis bukanlah ikatan yang kuat, apalagi untuk mengikat sebuah negara. Mengapa? Karena ikatan nasionalis cenderung bersifat emosional dan semu.
Sedangkan mengenai tokoh islam yang belum bisa memenangkan pendapatnya untuk menjadikan islam sebagia dasar negara; menurut saya, karena mereka belum bersatu dalam satu pendapat yang padu. Keputusan yang mereka ambil pun tidak murni berdasarkan ijtihad, padahal ijtihad adalah kunci dari penerapan islam yang menyeluruh.
Tapi saya cukup salut untuk perjuangan tokoh islam di masa kemerdekaan, walau belum berhasil.
Dan terakhir, yang perlu dititiktekankan, seharusnya kaum muslimin jangan melupakan usaha umat islam di masa lalu dalam meperjuangkan islam. Jangan sampai fakta yang ada membuat kaum muslimin lupa akan hakikat perjuangan yang ada.
 
Bandung, 10 Maret 2016

Salma Azizah
 

Catatan si Pengelana Template by Ipietoon Cute Blog Design