Selasa, 03 Mei 2016

Karena Takdir (?)



Merasa sulit move on? Atau, merasa...
Aku adalah orang paling menderita di dunia....!
Semua orang membenciku....!
Tidak ada lagi yang peduli denganku....!
Mengapa aku berbeda dengan yang lain...?!
Mengapa masalah bertubi-tubi mendatangiku....?!
Kapan kebahagiaan menghampiriku...?!
Kemudian diakhiri dengan pertanyaan, “apakah semua ini takdir...?
Pernyataan dan pertanyaan ini kadang kali hinggap di benak kita. Muncul begitu saja, yang mana di kemudian hari menghancurkan impian tentang masa depan kita. Juga turut membantai bibit-bibit harapan yang hendak mekar. Bahkan sekaligus juga mencerabut dengan paksa segala memori tentang prestasi yang telah gapai. Sedikit demi sedikit. Tanpa kita sadari. Terlebih di kala kegagalan sedang ‘mampir’ di kehidupan kita. Setuju?
And bagi kamu-kamu yang tidak merasa demikian, berbahagialah. Setidaknya kamu telah selamat dari wabah remaja yang satu ini.
Oke, di sini saya tidak ingin berpanjang lebar. Tidak. Sama sekali tidak. Saya hanya ingin menjawab pertanyaan terakhir, dari beberapa pertanyaan yang saya cantumkan sebelumnya. Menurut apa yang saya fahami.
Apakah semua ini takdir...?
Berbicara tentang takdir, islam juga memiliki pandangan yang khas lho, sobat. Kita sering kali menyebutnya dengan ‘Qodho dan Qodar’. Sobat tahu kan istilah ini? Pastilah, apalagi bagi kamu-kamu yang muslim. Apalagi istilah ini termasuk di dalam rukun iman yang enam, yang bahkan sudah kita pelajari semenjak Tk dan SD. Betul? Betul? Betul?
Oh ya, tapi pada tulisan kali ini, saya hanya akan sedikit menjelaskan beberapa hal terkait Qodho. Untuk Qodar, kita bahas kapan-kapan di tulisan lainnya ya..
Baiklah, langsung saja. Qodho menurut istilah merupakan ketetapan yang apabila telah diputuskan oleh-Nya, maka tidak ada lagi yang mampu menolaknya. Untuk lebih mudah memahaminya, begini saja sobat. Coba sobat perhatikan baik-baik pernyataan yang satu ini.
Dalam kehidupan, terdapat dua lingkup ruang kendali. Ruang pertama ialah ruang di mana kita diizinkan untuk memilih. Seperti halnya, apakah kita mau makan atau tidak; apakah kita mau belajar atau tidak; mau ke manakah kita melangkah; perkataan apakah yang akan kita ucapkan; dan lain semacamnya. Tidak ada unsur paksaan di dalamnya. Semua murni diserahka kepada kita, sebagai seorang manusia.
Kemudian ruang lingkup kedua ialah ruang di mana kita tidak mampu memilih. Mengapa? Karena Dia Yang Maha Kuasa telah menetapkannya. Seperti halnya, siapakah orang tua kita; apakah kita perempuan ataukah laki-laki; bagaimanakah bentuk wajah dan tubuh kita; dan lain sebagainya. Contoh lainnya, ketika tiba-tiba gempa melanda; pesawat yang kita tumpangi mengalami delay; salah satu sanak keluarga kita ada yang meninggal; orang tua kita bercerai; dan lain sebagainya.
Bukankah kita tidak bisa memilih bentuk tubuh dan wajah kita?
Bukankah kita tidak bisa memilih menjadi seperti burung, ikan, maupun rupa makhluk lainnya?
Bukankah kita tidak bisa memilih siapa yang akan menjadi orang tua dan saudara kita kelak?
Bukankah kita tidak bisa menolak terjadinya musibah seperti gempa, gunung meletus, tsunami, dan lain semacamnya?
Bukankah kita tidak bisa mengembalikan ruh sanak keluarga kita yang benar-benar telah meninggal?
Bukankah kita tidak bisa mnolak perceraian orang tua kita bila itu memang sudah terjadi?
Bukankah kita tiada daya menolak bila telah dinyatakan gagal menjalani ujian akhir, maupun test seleksei masuk perguruan tinggi ataupun sekolah lainnya?
Bukankah begitu?
Yups, betul sekali. Karena semua itu sudah berada di ruang lingkup ‘Qodho’. Kita sama sekali tidak bisa mengingkarinya. Kita tidak bisa menolak, lagipula bagaimana caranya? Kita saja tidak tahu hal-hal tersebut akan terjadi.
Ya, itulah Qodho.
Namun yang akan saya tekankan di sini, kadangkala manusia salah memposisikan diri, apakah itu termasuk Qodho ataukah bukan? Apakah itu ruang lingkup yang kita kuasai, atau malah ruang lingkup yang menguasai kita?
Masih banyak sekali yang menganggap dirinya adalah orang paling menderita di dunia. Atau menganggap semua orang membencinya. Atau menganggap tidak ada lagi yang peduli dengannya. Atau menganggap dirinya selalu berbeda dengan yang lain. Atau menganggap masalah selalu bertubi-tubi mendatanginya. Dan yang paling parah, banyak orang yang menganggap semua itu adalah Qodho.
Nah, ini dia yang kurang tepat.
Sobat bisa membayangkan, Qodho merupakan sebuah lingkaran yang berada di dalam lingkuaran ruang lingkup di mana manusia bisa memilih. Sobat bisa melihat lingkaran yang ada di bawah ini. Lingkaran berwarna biru muda ialah lingkaran di mana terdapat ketetapan Yang Maha Kuasa (Qodho). Lingkaran berwarna biru tua ialah lingkaran di mana manusia diberi kebebasan untuk memilih.



 Nah, letak kesalahannya ialah di kala ruas lingkaran Qodho (biru muda) diperluas dari segi presepsi. Sesuatu yang seharusnya berada di lingkaran biru tua dianggap termasuk ke dalam lingkaran biru muda.


Masih banyak sekali yang menganggap bahwa takdir memutuskan dirinya menjadi orang paling menderita di dunia. Namun nyatanya, coba dia renungkan kembali pernyataan itu. Apakah benar ia adalah yang paling menderita? Apakah ia sudah melakukan usaha untuk menjadi lebih baik? Toh, itu berada dalam kuasa manusia. Atau, coba dia lihat anak-anak yang bertelanjang kaki di jalanan. Atau mereka yang seluruh hidupnya dihantui ketakutan dan kepalaran akibat perang yang melanda. Dan masih banyak hal-hal lain yang dapat dipertimbangkan. So, masih berani mengatakan dirinya adalah yang paling menderita?
Masih banyak yang menganggap bahwa takdir membuatnya dibenci semua orang. Namun coba reungkan kembali. Coba lakukan introspeksi. Jangan-jangan ada di antara perilaku ataupun tutur katanya yang membuat orang-orang menjauh darinya. Toh, itu berada dalam kausa manusia.
Masih banyak yang menganggap bahwa takdir membawanya menjadi selalu berbeda dengan yang lain. Coba renungkan. Apakah berbeda itu salah? Bila memang sebuah kesalahan, apakah ia sama sekali tidak bisa melakukan upaya untuk berubah? Toh, semua itu berada dalam kuasa manusia. Lagipula, masih banyak orang yang ‘berbeda’, namun tetap sukses dalam hidupnya.
Atau, masih banyak yang menganggap bahwa takdir mengundang masalah bertubi-tubi mendatanginya.  Coba renungkan. Apakah hanya dirinya yang ditimpa masalah? Tentu tidak. Semua orang pasti memiliki masalah. Jika ada orang yang merasa tidak punya masalah pun, itulah masalahnya. Lagipula, seperti yang ada di dalam Al-Qur’an, Allah tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya. So, kamu pasti mampu mengatasi masalah yang mendatangimu. Dan sekali lagi, memecahkan masalah itu berada di dalam kuasa manusia.
Dan masih banyak lagi anggapan lainnya.
So, bila kamu merasa sulit untuk move on, bisa jadi karena kamu salah presepsi. Bisa jadi karena kamu menganggap hal itu adalah takdir (Qodho) -sehingga terus senantiasa menunggu sebuah keajaiban datang, padahal nyatanya itu termasuk ke dalam ruang lingkup yang bisa kita kuasai.
Itu hanya analisa saya.
Bila ada yang kurang setuju, bagi saya tidak masalah. Apalagi yang sangat setuju, bagi saya sangat tidak masalahJ.
Saya juga menerima masukan dan kritikan, bagi saya itu sesuatu yang berharga untuk perbaikan ke depannya.

Terima kasih sudah membaca.
Semoga bermanfaat ^_^


Pesan untuk Para Penjelajah


Bagi para penjelajah..
Pasti kamu-kamu sangat ingin perjalananmu menjadi sesuatu yang berkesan dan unfogattable. Kemudian senantiasa terkenang dalam memori meski sudah terjadi beberapa tahun atau bahkan beberapa abad silam. Tidak cukup terkenang, perjalanan itu bahkan memberimu sebuah hadiah istimewa berupa pelajaran kehidupan yang begitu indah. Betul? Betul? Betul?
Oke, jika jawabanmu iya, kita lanjut lagi ke pertanyaan selanjutnya; atau anggap saja jawabanmu iya. Siip, next -->
Menurutmu, apa yang paling berkesan dari sebuah perjalanan?
Apakah jika perjalanan itu dilakukan di lokasi yang memiliki view super indah?
 Apakah jika selama perjalanan disediakan fasilitas yang komplit, nomor wahid dan kualitasnya siip?
Ataukah malah jika perjalanan itu tidak mengeluarkan budget banyak, bahkan nyaris tanpa biaya pengeluaran?
Apakah jika perjalanannya dilakukan dalam rentang waktu yang sangat lama?
Ataukah malah jika perjalanan itu dilakukan dalam waktu yang sangat singkat?
Apakah jika perjalanan itu dilakukan bersama person-person yang spesial?
Hmm... sudah banyak sekali ya optionnya? Baiklah, agar tidak buang-buang waktu, kita coba langsung jawab saja ya. -atau anggap saja jawabanmu iya. -atau anggap saja jawabanmu iya.
Relatif.
Itulah kata yang sedari tadi ingin saya tuliskan. Sobat semua pasti tahu maksud dari kata relatif. Betul? Betul? Betul?
Yups, sebuah perjalanan itu berkesan atau tidak; seru atau tidak; luar biasa atau tidak; penuh hikmah atau tidak; edukatif atau tidak; semua itu relatif. Tergantung pada presepsi kamu-kamu yang mengalami dan menjalaninya. Tidak perlu tempat yang view-nya luar biasa indah. Tidak perlu fasilitas perjalanan yang nomor wahid yang komplit. Tidak perlu budget yang menguras habis dompet. Tidak perlu partner yang istimewa dan luar biasa. Tidak perlu waktu yang begitu lama hingga kita merasa sangat puas atau bahkan hingga merasa bosan. Semua itu tidak perlu, sangat tidak perlu.
Mengapa? Sekali lagi, yakni karena baik tidaknya sebuah perjalanan itu relatif. Tergantung presepsi siapa yang melakukan dan menjalaninya. Jika kamu-kamu menjalani perjalanan itu dengan hati riang dan gooodmood, niscaya perjalanan itu akan menjadi perjalanan yang berkesan dan unforgatable. Jika nyatanya perjalananmu itu tidak berjalanan dengan mulus, setidaknya dirimu sendiri dapat membuat perjalanan itu menjadi menarik dan asyik dan edukatif.
So, jika kamu-kamu mau melakukan perjalanan, pastikan dirimu sendiri mampu membawa suasana menjadi bahagia. Tidak sulit kok, yakin J. Agar uang, tenaga dan waktu yang kamu habiskan tidak terbuang begitu saja.
Itu sedikit tips dari saya.
Bila kiranya tidak penting, abaikan saja. Namun saya harap, tulisan ini dapat bermanfaat bagi kamu-kamu yang sudah merekalan waktu untuk membaca.

Terimakasih sudah membaca ^_^

Sejarah Pembukuan Hadits Nabi*



Ketika Kaum Muslimin menetap di Kota Madinah al-Munawwarah, Rasulullah SAW memerintahkan para pemuda untuk belajar membaca dan menulis di Masjid lingkungan mereka tinggal. Pada saat itu terdapat 9 bangunan Masjid di Madinah. Para penulis pun menaruh pehatian besar terhadap perintah pertama, yakni menulis al-Qur’an, yang mana telah mengambil sebagian besar waktu mereka.
Sementara hadits Rasulullah itu sangatlah banyak, bahkan tidak terbatas. Dalam setiap peristiwa, terdapat hadits Rasul. Dalam mayoritas ayat al-Qur’an, terdapat hadits Rasul berupa penjelasan dan tafsir. Di samping itu, para penulis tidak lagi memiliki waktu untuk mencatat semua yang Rasul katakan, kerjakan, ataupun yang beliau tetapkan.
Selain itu, di masa awal turunnya wahyu, Rasulullah sangat melarang pencatatan hadits. Hal itu dilakukan agar hadits Rasul tidak tercampur dengan al-Qur’an al-Karim. Kemudian setelah itu, Rasul mengizinkan beberapa Sahabat untuk menulis hadits, sehingga catatan itu mampu membantu proses menghafal. Mayoritas penulis hadits mencatat apa yang mereka kumpulkan pada tahun-tahun terakhir di masa Rasulullah hidup.
Dalam masa kenabian, salah satu kumpulan hadits yang terkenal ialah Ash-Shahiifah Ash-Shadiiqoh yang ditulis oleh Abdullah bin Amr bin Ash. Kumpulan hadits tersebut berhasil menghimpun 1000 hadits. Begitupula halnya kumpulan hadits yang ditulis oleh Abdullah bin Abbas. Beliau menulis sunnah dan sirah Rasul dalam jumlah banyak, di atas papan-papan yang biasanya beliau bawa ketika berada di majelis ilmu.
Di masa khulafaa ar-raasyidiin, Abu Bakar r.a memerintahkan pengumpulan al-Qur’an. Sementara Utsman bin Affan menaruh perhatian penting terhadap penyalinan al-Qur’an, juga distribusi al-Qur’an ke seluruh penjuru negara islam. Sehingga pada masa itu orang-orang tersibukan dengan al-Qur’an dan belum sempat mencatat hadits. Sampai akhir abad pertama, para tabi’in pun masih sulit melakukan pencatatan as-sunnah.
Hal itu terus menerus berlangsung, hingga datang masanya Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau secara resmi memerintahkan pembukuan hadits, dan mewajibkan hal tersebut kepada para wali di seluruh penjuru negara islam. Hal itu dilakukannya karena khawatir kehilangan para ulama, juga khawatir tersebarnya hadits yang tidak shahih.
Salah satu kitab hadits terkenal yang pertama ialah Muwaththa’, yang ditulis oleh Imam Malik, Imamnya kota Madinah (189 H). Selain itu ada juga kitab Musnad yang ditulis oleh Imam Ahmad bin Hambal (241 H). Akan tetapi pencatatan as-sunnah  per bab baru dimulai pada masa al-Bukhori. Di masa itulah para ulama (al-Bukhori, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majjah dan an-Anasa’i) menyusun enam kitab hadits yang shahih.
Di masa itu, para perawi hadits belum merasa cukup dengan ilmu yang mereka dapatkan dari guru-guru di negeri mereka. Begitupula dengan ilmu yang mereka dapatkan di Madinah al-Munawwarah. Akan tetapi mereka keluar merantau dalam waktu perjalanan yang begitu lama, ke negeri-negeri yang jauh, demi mendapatkan hadits. Mereka pun mampu belajar dari generasi perawi awal.
Untuk memperoleh satu hadits, seorang perawi bahkan harus melakukan perjalanan panjang siang-malam. Di antara mereka bahkan ada yang melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Di antara mereka juga ada yang memulai perjalanan di usia 15 atau 20 tahun, dan senantiasa melakukan perjalanan lebih dari 10 tahun.
Pada abad ke-6 Hijriyah, Nuruddin Muhammad Zanki mendirikan Rumah Hadits yang pertama di Damaskus. Kemudian Malik al-Ayyubi al-Kamil Nasirudiin mendirikan Rumah Hadits di Kairo pada tahun 262 H. Demikianlah, dengannya, kebutuhan akan perjalanan dalam memperoleh hadits pun berkurang.
Meskipun demikian, masih banyak pencari hadits yang senantiasa mengutamakan melakukan perjalanan dan mengelilingi negara. Di dalamnya-lah terdapat pengaruh yang besar terhadap penyatuan nash hadits. Riwayat-riwayat yang ada di dalam kitab-kitab shahih pun serupa dalam masalah pokok, meskipun terdapat beberapa perbedaan yang sedehana. Maka -dapat kita lihat, hasilnya ialah penetapan hukum yang satu.
 

*Terjemahan tulisan di kitab al-Arobiyyah li an-Nasyi’in jilid 5, halaman17-18.

Proaktif vs Reaktif


Stimulus;
Atau tekanan dari pihak luar,
Dapat berupa ucapan;
Bahkan berupa cacican dan hinaan,
Dapat juga berupa keadaan;
Situasi buruk;
Situas genting;
Situasi mendesak,
Atau apalah, tergantung kamu menyebutnya apa.
Sebenarnya kita tidak perlu rumit dan berpusing ria demi sekedar menafsirkan hakikat makna kata ‘stimulus’. Cukup artinya, suatu hal berupa tekanan yang datang dari luar diri kita sendiri. Tekanan dari luar itu bisa berupa perkataan, perbuatan, atau suatu keadaan.
Tentang si ‘stimulus’, dia sama sekali tidak bisa kita kendalikan. Mengapa? Karena ‘stimulus’ datang dari pihak luar, sehingga kita sama sekali tidak mampu mengendalikannya. Yang bisa kita kendalikan adalah respon; bagaimana kita merespon si ‘stimulus’ ini. Apakah kita akan menjadi sosok yang ‘proaktif’ ataukah ‘reaktif’?
Apa itu reaktif dan proaktif?
Proaktif adalah antonim dari proaktif. Untuk lebih jelasnya, coba simak penjelasan di bawha ini;
Bagi kamu-kamu yang merespon si ‘stimulus’ dengan spontan, penuh emosi, tanpa pertimbangan yang matang, artinya dirimu adalah sosok yang ‘reaktif’. Dan tahukah kamu? Menjadi sosok yang reaktif ini begitu mudah. Dan saya yakin, kita semua sudah sangat terlatih untuk menjadi sosok yang reaktif. Bagaimana tidak? Seperti inilah kita dulu, sebagai anak kecil atau bahkan sebagai seorang bayi merespon.
Kemudian bagi kamu-kamu yang merespon si ‘stimulus’ tidak dengan secara spontan, penuh pertimbangan, dan tanpa dasar emosi, artinya dirimu adalah sosok yang ‘proaktif’. Berbeda dengan sosok reaktif, menjadi sosok yang proaktif adalah hal yang tidak mudah. Kita harus mampu mengalahkan perasaan ego dan emosi kita, yang sewaktu-waktu dapat bangkit di kala si ‘stimulus’ ini berulah. Kemudian memikirkan respon terbaik yang bisa kita lakukan. Dan tentunya, kita belum tentu terbiasa menjadi sosok yang reaktif. Fikirkan saja, apakah ada bayi atau anak kecil yang proaktif? J
Simple bukan? Yaaa, begitulah.
Dengan membaca penjelasan di atas, kamu pasti dapat menilai mana yang baik dan mana yang tidak. Sekaligus, kamu tinggal memilih, apakah mau menjadi soosk yang proaktif ataukah menjadi sosok yang reaktif.
Itu semua pilhanmu.
Ohya, saya beri tahu rahasia nih sobat. Bila kamu ingin menjadi sosok yang sukses, menjadi sosok yang proaktif adalah tahap pertama yang harus kamu lalui. Yaps, tahap pertama untuk mejadi mandiri. Tahap pertama dari tujuh tahap yang ada.
Penasaran dengan tahap-tahap selanutnya?
Simak terus baik-baik ya..

Terima kasih telah membaca dan semoga bermanfaat ^_^

Belajar dari Ikan Salmon


Apakah sobat kenal dengan ikan yang satu ini? Baiklah, saya rasa kita harus mengintip profil ikan salmon terlebih dahulu. Setuju? Cekidot...
Ohya sebelumnya, sobat jangan membayangkan ikan Salmon seperti hiu yang mengerikan, atau piranha yang super rakus, atau paus yang besarnya sangat luar biasa. Sobat juga jangan membayangkan ikan Salmon itu ikan milik saya, mentang-mentang nama saya Salma (lho??).
Ikan Salmon menurut saya adalah ikan yang super unik. Mengapa? Dalam siklus hidupnya, ikan Salmon hidup di dua jenis air, yakni air asin dan air tawar. Penasaran? Yuk Ikuti lebih lanjut..
Bagi ikan Salmon, sungai adalah tempat kelahiran dan tempat mereka kembali kepada Yang Maha Pencipta. Sebagai sosok yatim piatu, telur ikan Salmon menetas di antara tumpukan kerikil dasar sungai. Bahkan, dari seluruh jumlah telur yang ada, hanya sekitar setengahnya yang berhasil menetas. Miris sekali bukan? Namun begitulah kenyataannya. Salmon kecil akan terus hidup di antara tumpukan kerikil, dengan memakan plankton yang tersedia. Setelah 6-7 bulan menjalani hidup di antara tumpukan kerikil, ikan Salmon kecil mulai keluar ke dasar sungai.

Setelah sukses beradaptasi dengan lingkungan, ikan Salmon balita mulai menempuh petualangannya menuju laut lepas. Dan luar biasanya, perjalanan yang harus Salmon balita tempuh mencapai ribuan kilometer! Subhanallah, bisa dibayangkan bukan, begitu besar panjang perjalanan yang harus mereka tempuh.
Belum cukup sampai di sana. Ketika ikan Salmon remaja sukses menempuh perjalanan, mereka harus kuat menghadapi kerasnya kehidupan. Ribuan macam predator senantiasa mengintai mereka. Ada anjing laut sebagai ancaman terbesar, kemudian singa laut, beruang, burung, bahkan manusia.



Setelah di laut selama 4-7 tahun, ikan Salmon dewasa harus kembali ke sungai, persis di mana dulu mereka menetas. Biasanya ikan Salmon yang sudah siap berkembang biak akan membuat sebuah koloni untuk bersama-sama ke sungai. Bayangkan saja, mereka harus kembali menempuh perjalanan ribuan kilometer. Melawan arus sungai yang seringkali deras. Melompati banyak undakan-undakan bebatuan dan juga air terjun. Melewati dam-dam pembangkit listrik tenaga air. Belum lagi di sana terdapat banyak beruang lapar yang menanti. Dan bayangkan sobat, mereka harus melalui perjalanan panjang itu dalam keadaan berpuasa, alias sama sekali tidak makan. Wajar saja, jika selama perjalanan berat tubuh mereka bisa menurun hingga sepertiga dari seluruh berat semula.
Dalam perjalanan panjang ini, banyak sekali ikan Salmon yang mengalami luka sayatan di sekujur tubuhnya. Bahkan banyak juga di antara mereka yang mati di tengah perjalanan, di tengah perjuangan. Entah itu karena kehabisan energi, dimangsa predator, atau gagal dalam menaklukan arus dan air terjun.
Beberapa hari setelah induk ikan Salmon menunggui lubang telurnya, mereka akan mati begitu saja. Wajar saja bukan? Setelah menempuh perjalanan panjang yang mematikan tanpa sepeser pun makanan, tentu energi yang mereka miliki lama-kelamaan akan habis.
Begitulah ikan Salmon mengukir kisah siklus hidup yang mengharukan. Dilahirkan sebagai yatim piatu. Ditakdirkan untuk berjuang menghadapi rintangan hidup di usia dini, ‘sendirian’ tanpa orang tua. Ditakdirkan untuk menghindari ribuan predator yang mengerikan. Juga ditakdirkan untuk ‘pulang’ ke tempat asalanya, meski itu artinya kembali menalami kisah perjuangannya di beberapa tahun silam, bahkan lebih berat dari itu. Karena untuk perjuangan kali ini, mereka tidak cukup sekedar mengikuti ‘arus’ yang ada, namun harus melawannya. Dan dengan melakukan perjuangan yang satu ini, itu sama saja artinya mereka meninggalkan lautan samudera yang menjanjikan keindahan, untuk selamanya. Dalam rangka menjemput kematian yang hadir di depan mata.
Ikan Salmon mengjarkan pada kita bahwa hidup adalah perjuangan; diawali dengan perjuangan, dihiasi dengan perjuangan dan ditutup dengan perjuangan. Meski perjuangan itu harus berujung kepada kematian dan kembali kepada-Nya. Perjuangan dalam rangka menggapai tujuan yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Pencipta. Sobat tentu ingat firman-Nya dalam Al-Qur’an,
“Dan tidaklah Aku menciptakan manusia dan jinn selain untuk beribadah kepada-Ku”.
Yups, betul sekali. Kita sebagai manusia diciptakan oleh-Nya sebagai hamba. Dan jelas, bahwa kita diciptakan di bumi ini untuk beribadah kepada-Nya. Tapi yang perlu digarisbawahi di sini sobat, tentu beribadah yang dimaksud di sini tidak sebatas melakukan ibadah ritual; seperti sholat, dzikir, puasa, haji dan lain sebagainya. Ibadah-ibadah ritual tersebut hakikatnya hanyalah sebagian kecil dari beribadah yang dimaksud. Karena beribadah yang dimaksud di sini bermakna luas, yakni menjalankan seluruh apa yang diperintahkannya dan menjauhi seluruh apa yang dilarangnya.
Yakninlah kita bisa melakukannya, meski satu tahap demi satu tahap. Tentu, kita tidak mau kan kalah dengan sosok ikan Salmon? J
Ikan Salmon juga mengajarkan kepada kita bahwa hidup itu membutuhkan pengorbanan. Bayangkan saja bila ikan Salmon menjadi egois, enggan kembali ke sungai untuk bereproduksi. Tentu yang akan terjadi adalah kepunahan, bukankah begitu? Bila sudah terjadi kepunahan, bukan saja kalangan ikan Salmon yang mengalami kerugian, namun juga hewan lainnya. Karena kepunahan satu mata rantai makanan dapat merusak ekosistem yang ada. Saya yakin lah, sobat pasti sudah faham dengan konsep ini.
Lantas mengapa masih banyak manusia yang enggan untuk peduli dan memilih menjadi egois? Mengapa masih banyak manusia yang lebih mementingakan kepentingan pribadi? Mengapa banyak manusia yang enggan menjadi sosok yang bermanfaat bagi masyarakat, bagi manusia lainnya? Di mana akal yang telah Allah anugerahkan? Apakah masih banyak manusia yang lebih buruk dari ikan Salmon yang tidak berakal?
Mari kita kembali ingat firman Allah dalam Al-Qur’an,
“dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Q.S al-A’raf:179)
Apakah dirimu telah benar-benar berjuang di jalan-Nya? Apakah perjuanganmu sudah lebih berat dari perjuangan ikan salmon? Apakah dalam perjuanganmu nyawa sudah menjadi taruhan yang pasti?
Sebesar apakah pengorbanan yang telah engkau lakukan, setidaknya untuk keuarga dan orang-orang yang ada di sekitarmu? Apakah kiranya dalam dirimu sudah ada rasa peduli, atau malah didominasi oleh egois? Apakah dirimu sudah bermanfaat bagi yang lain?
Semoga hal ini bisa menjadi renungan kita bersama.

Terimakasih sudah membaca J

 

Catatan si Pengelana Template by Ipietoon Cute Blog Design