Merasa
sulit move on? Atau, merasa...
“Aku
adalah orang paling menderita di dunia....!”
“Semua
orang membenciku....!”
“Tidak
ada lagi yang peduli denganku....!”
“Mengapa
aku berbeda dengan yang lain...?!”
“Mengapa
masalah bertubi-tubi mendatangiku....?!”
“Kapan
kebahagiaan menghampiriku...?!”
Kemudian
diakhiri dengan pertanyaan, “apakah semua ini takdir...?”
Pernyataan dan pertanyaan ini kadang kali hinggap di benak kita. Muncul
begitu saja, yang mana di kemudian hari menghancurkan impian tentang masa depan
kita. Juga turut membantai bibit-bibit harapan yang hendak mekar. Bahkan
sekaligus juga mencerabut dengan paksa segala memori tentang prestasi yang
telah gapai. Sedikit demi sedikit. Tanpa kita sadari. Terlebih di kala
kegagalan sedang ‘mampir’ di kehidupan kita. Setuju?
And bagi kamu-kamu yang tidak merasa demikian, berbahagialah.
Setidaknya kamu telah selamat dari wabah remaja yang satu ini.
Oke, di sini saya tidak ingin berpanjang lebar. Tidak. Sama sekali
tidak. Saya hanya ingin menjawab pertanyaan terakhir, dari beberapa pertanyaan
yang saya cantumkan sebelumnya. Menurut apa yang saya fahami.
“Apakah semua ini takdir...?”
Berbicara tentang takdir, islam juga memiliki pandangan yang khas
lho, sobat. Kita sering kali menyebutnya dengan ‘Qodho dan Qodar’. Sobat tahu
kan istilah ini? Pastilah, apalagi bagi kamu-kamu yang muslim. Apalagi istilah
ini termasuk di dalam rukun iman yang enam, yang bahkan sudah kita pelajari
semenjak Tk dan SD. Betul? Betul? Betul?
Oh ya, tapi pada tulisan kali ini, saya hanya akan sedikit
menjelaskan beberapa hal terkait Qodho. Untuk Qodar, kita bahas kapan-kapan di
tulisan lainnya ya..
Baiklah, langsung saja. Qodho menurut istilah merupakan ketetapan
yang apabila telah diputuskan oleh-Nya, maka tidak ada lagi yang mampu menolaknya.
Untuk lebih mudah memahaminya, begini saja sobat. Coba sobat perhatikan
baik-baik pernyataan yang satu ini.
Dalam kehidupan, terdapat dua lingkup ruang kendali. Ruang pertama
ialah ruang di mana kita diizinkan untuk memilih. Seperti halnya, apakah kita
mau makan atau tidak; apakah kita mau belajar atau tidak; mau ke manakah kita
melangkah; perkataan apakah yang akan kita ucapkan; dan lain semacamnya. Tidak
ada unsur paksaan di dalamnya. Semua murni diserahka kepada kita, sebagai
seorang manusia.
Kemudian ruang lingkup kedua ialah ruang di mana kita tidak mampu
memilih. Mengapa? Karena Dia Yang Maha Kuasa telah menetapkannya. Seperti
halnya, siapakah orang tua kita; apakah kita perempuan ataukah laki-laki;
bagaimanakah bentuk wajah dan tubuh kita; dan lain sebagainya. Contoh lainnya,
ketika tiba-tiba gempa melanda; pesawat yang kita tumpangi mengalami delay;
salah satu sanak keluarga kita ada yang meninggal; orang tua kita bercerai; dan
lain sebagainya.
Bukankah kita tidak bisa memilih bentuk tubuh dan wajah kita?
Bukankah kita tidak bisa memilih menjadi seperti burung, ikan,
maupun rupa makhluk lainnya?
Bukankah kita tidak bisa memilih siapa yang akan menjadi orang tua
dan saudara kita kelak?
Bukankah kita tidak bisa menolak terjadinya musibah seperti gempa,
gunung meletus, tsunami, dan lain semacamnya?
Bukankah kita tidak bisa mengembalikan ruh sanak keluarga kita yang
benar-benar telah meninggal?
Bukankah kita tidak bisa mnolak perceraian orang tua kita bila itu
memang sudah terjadi?
Bukankah kita tiada daya menolak bila telah dinyatakan gagal
menjalani ujian akhir, maupun test seleksei masuk perguruan tinggi ataupun
sekolah lainnya?
Bukankah begitu?
Yups, betul sekali. Karena semua itu sudah berada di ruang lingkup
‘Qodho’. Kita sama sekali tidak bisa mengingkarinya. Kita tidak bisa menolak,
lagipula bagaimana caranya? Kita saja tidak tahu hal-hal tersebut akan terjadi.
Ya, itulah Qodho.
Namun yang akan saya tekankan di sini, kadangkala manusia salah
memposisikan diri, apakah itu termasuk Qodho ataukah bukan? Apakah itu ruang
lingkup yang kita kuasai, atau malah ruang lingkup yang menguasai kita?
Masih banyak sekali yang menganggap dirinya adalah orang paling
menderita di dunia. Atau menganggap semua orang membencinya. Atau menganggap tidak
ada lagi yang peduli dengannya. Atau menganggap dirinya selalu berbeda dengan
yang lain. Atau menganggap masalah selalu bertubi-tubi mendatanginya. Dan yang
paling parah, banyak orang yang menganggap semua itu adalah Qodho.
Nah, ini dia yang kurang tepat.
Sobat
bisa membayangkan, Qodho merupakan sebuah lingkaran yang berada di dalam
lingkuaran ruang lingkup di mana manusia bisa memilih. Sobat bisa melihat
lingkaran yang ada di bawah ini. Lingkaran berwarna biru muda ialah lingkaran
di mana terdapat ketetapan Yang Maha Kuasa (Qodho). Lingkaran berwarna biru tua
ialah lingkaran di mana manusia diberi kebebasan untuk memilih.
Nah, letak kesalahannya ialah di kala ruas lingkaran Qodho (biru muda) diperluas dari segi presepsi. Sesuatu yang seharusnya berada di lingkaran biru tua dianggap termasuk ke dalam lingkaran biru muda.
Masih banyak sekali yang menganggap bahwa takdir memutuskan dirinya menjadi orang paling menderita di dunia. Namun nyatanya, coba dia renungkan kembali pernyataan itu. Apakah benar ia adalah yang paling menderita? Apakah ia sudah melakukan usaha untuk menjadi lebih baik? Toh, itu berada dalam kuasa manusia. Atau, coba dia lihat anak-anak yang bertelanjang kaki di jalanan. Atau mereka yang seluruh hidupnya dihantui ketakutan dan kepalaran akibat perang yang melanda. Dan masih banyak hal-hal lain yang dapat dipertimbangkan. So, masih berani mengatakan dirinya adalah yang paling menderita?
Masih banyak yang menganggap bahwa takdir membuatnya dibenci semua
orang. Namun coba reungkan kembali. Coba lakukan introspeksi. Jangan-jangan ada
di antara perilaku ataupun tutur katanya yang membuat orang-orang menjauh
darinya. Toh, itu berada dalam kausa manusia.
Masih banyak yang menganggap bahwa takdir membawanya menjadi selalu
berbeda dengan yang lain. Coba renungkan. Apakah berbeda itu salah? Bila memang
sebuah kesalahan, apakah ia sama sekali tidak bisa melakukan upaya untuk
berubah? Toh, semua itu berada dalam kuasa manusia. Lagipula, masih banyak
orang yang ‘berbeda’, namun tetap sukses dalam hidupnya.
Atau, masih banyak yang menganggap bahwa takdir mengundang masalah bertubi-tubi
mendatanginya. Coba renungkan. Apakah
hanya dirinya yang ditimpa masalah? Tentu tidak. Semua orang pasti memiliki
masalah. Jika ada orang yang merasa tidak punya masalah pun, itulah masalahnya.
Lagipula, seperti yang ada di dalam Al-Qur’an, Allah tidak akan membebani
seseorang di luar batas kemampuannya. So, kamu pasti mampu mengatasi
masalah yang mendatangimu. Dan sekali lagi, memecahkan masalah itu berada di
dalam kuasa manusia.
Dan masih banyak lagi anggapan lainnya.
So, bila kamu merasa sulit untuk move on, bisa jadi karena kamu salah
presepsi. Bisa jadi karena kamu menganggap hal itu adalah takdir (Qodho) -sehingga
terus senantiasa menunggu sebuah keajaiban datang, padahal nyatanya itu
termasuk ke dalam ruang lingkup yang bisa kita kuasai.
Itu hanya analisa saya.
Bila ada yang kurang setuju, bagi saya tidak masalah. Apalagi yang
sangat setuju, bagi saya sangat tidak masalahJ.
Saya juga menerima masukan dan kritikan, bagi saya itu sesuatu yang
berharga untuk perbaikan ke depannya.
Semoga bermanfaat ^_^